KOMPAS.com - Dalam dialog terbuka dengan para pelaku ekonomi di Surabaya, pekan lalu, beberapa pebisnis bertanya kepada salah seorang direktur Grup Pakuwon, Sutandi Purnomosidi. ”Kami mempunyai uang tiga puluh miliar rupiah. Investasi apa terbaik kini?”
Sutandi mengatakan, banyak yang menarik. Emas, misalnya, tetap menarik, sebab aman. Pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan bunga deposito bank dan jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi. Beli saham blue chips juga menyenangkan. Kalau napasnya kuat, jantung bisa diajak berdegup kencang, bisa meraih untung yang lumayan.
Akan tetapi, yang lebih asyik sebetulnya, ujar Sutandi, adalah bisnis properti, karena lonjakan harganya sangat cepat. Awal tahun 2010 di Surabaya, harga rumah dengan luas tanah 200 meter persegi Rp 2,7 miliar. Angka itu sudah sangat tinggi.
Awal tahun ini, pembeli rumah tadi bisa melepasnya dengan Rp 7,2 miliar. Selama hampir tiga tahun, pembeli rumah tadi memperoleh keuntungan Rp 4,2 miliar. Laba yang lebih kurang sama besarnya jika pengusaha menanam investasi di ruko-ruko di lokasi emas, dan apartemen berkelas.
Bandingkanlah perolehan dari pembelian emas dan deposito. Bunga deposito kini tidak menggetarkan sebab hanya 4 atau 5 persen per tahun. Pertumbuhan harga emas masih lebih tinggi daripada deposito, tetapi tidak lebih tinggi daripada properti. Padahal, laba Rp 4,2 miliar itu untuk pembelian satu rumah. Bayangkanlah kalau membeli 20 rumah, keuntungan di atas kertas Rp 84 miliar dalam tiga tahun. Bukan main.
Ini semua terjadi, ujar Sutandi, karena properti sedang bagus-bagusnya. ”Bisnis batubara dan minyak bumi memang keren. Bisnis crude palm oil (minyak kelapa sawit mentah) mengilap. Namun, harga komoditas tersebut masih bisa naik turun. Pada harga rumah, ruko, tanah, tidak ada cerita bisa turun harganya. Hanya bisa naik,” ujar Sutandi.
Begawan properti, Ciputra (81), menyatakan, iklim bisnis properti memang sedang bagus. Sekian tahun lalu, ujar Ciputra, ia menjual tanah kapling di sebuah lokasi di Jakarta sebesar Rp 5 juta per meter persegi. Kini harganya sudah Rp 35 juta per meter persegi. Membeli kapling 300 meter dulu masih bisa dengan Rp 1,5 miliar. Kini mesti Rp 10,5 miliar.
Harga-harga ini melonjak seperti roket. Ini terjadi karena permintaan tinggi dan ketersediaan lahan yang terbatas. Lima belas tahun silam masih mudah mendapatkan areal 30 hektar di lokasi bagus di Jakarta. Kini sulitnya bukan main. Kalaupun ada, harganya ”gila-gilaan”. Sebutlah pengembang membeli Rp 30 juta per meter persegi. Dia harus jual berapa ke publik?
Bisnis properti kini memang lagi keren-kerennya. Warga yang menunda membeli rumah sebaiknya berpikir kembali. Jika dana terbatas, bisa mulai dengan rumah susun, atau rumah tipe kecil dengan harga termurah. Bayar rumah dengan cara mencicil tiap bulan merupakan jalan yang bijaksana. Anggaplah cicilan itu bagian dari membayar kontrak rumah. Ke depan harga rumah akan makin liar. (Abun Sanda)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.