Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelobi Daging Sapi

Kompas.com - 07/02/2013, 07:36 WIB

KOMPAS.com - Kasus dugaan suap impor daging sapi sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari berbagai kongkalikong dalam impor daging sapi. Urusan impor daging sapi dan sapi bakalan dengan segenap akal-akalan di dalamnya sudah lama terjadi dan jumlahnya tidak kecil. Kekuatan lobi menjadi kunci mereka.

Sejak zaman Orde Baru isu kongkalikong impor daging sapi sudah ada. Saat itu, dan masih dilakukan sampai beberapa tahun yang lalu, upaya akal-akalan yang sering muncul adalah pengelabuan berat impor untuk sapi bakalan. Syarat impor sapi bakalan adalah 350 kg, tetapi kenyataannya melebihi berat itu, ada yang 450 kg, bahkan ada yang lebih dari 500 kg. Dengan cara ini, mereka tak perlu lagi menggemukkan sapi bakalan alias langsung dibawa ke rumah pemotongan hewan.

Penyelundupan daging sapi juga kerap dilakukan. Biasanya berasal dari negara yang tidak bebas penyakit sapi gila atau penyakit kuku dan mulut. Daging sapi dari negara yang tidak bebas penyakit biasanya dijual dengan harga yang sangat murah, jauh di bawah harga pasar.

Seperti diketahui, saat ini hanya tiga negara yang bebas dari penyakit tersebut, yaitu Indonesia, Australia, dan Selandia Baru. Jumlah negara yang bebas penyakit tersebut makin sedikit setelah Amerika Serikat pada tahun 2006 juga tidak berstatus bebas karena ditemukan kasus sapi gila di negara itu.

Jika kemudian segelintir importir diduga menyuap atau berusaha menyuap karena situasi di atas membuat mereka mentok. Apalagi Bea dan Cukai makin ketat mengawasi pemasukan daging sapi. Beberapa kali penyelundupan bisa digagalkan aparat Bea dan Cukai. Secara hukum pemerintah juga masih melarang masuknya daging sapi dan produk asal daging sapi dari negara yang belum bebas penyakit.

Upaya lobi-lobi pernah dilakukan beberapa kalangan dengan harapan pemerintah membuka impor dari negara yang tidak bebas penyakit. Mereka berargumentasi dengan usulan zona bebas. Kebijakan yang ada adalah negara bebas penyakit yang artinya Indonesia hanya menerima impor dari negara yang bebas penyakit. Para pelobi mengatakan, di negara yang tidak bebas penyakit ada provinsi-provinsi yang bebas penyakit. Untuk itulah mereka mengusulkan impor daging sapi dari zona bebas atau provinsi bebas penyakit.

Pelobi ini bukanlah pelobi yang mudah kempis di tengah jalan meski sejak bertahun-tahun yang lalu usulan mereka mentah. Pada masa Menteri Pertanian Bungaran Saragih, para pelobi pernah mengusulkan zona bebas, tetapi usulan ini mentah juga. Pada masa Menteri Pertanian Anton Apriyantono, mereka juga sangat aktif untuk mendapatkan peluang itu. Akan tetapi, tekanan media sangat kuat sehingga zona bebas tidak lolos.

Lobi-lobi di seputar subsektor peternakan memang cukup kencang. Seorang mantan dirjen peternakan pernah menuturkan betapa berbagai kalangan dari importir, dan juga orang yang mengaku dari partai politik, berupaya untuk meloloskan sejumlah izin. Kebijakan pun berusaha diarahkan untuk kepentingan tertentu.

Meski berkali-kali mentah, kebijakan zona bebas itu akhirnya dibuka berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Mencemaskan dampak kebijakan itu, sejumlah pihak langsung mengajukan uji materi terhadap undang-undang ini. Akhir tahun lalu MK menganulir pasal tentang zona bebas sehingga kebijakan pemerintah harus kembali ke kebijakan negara bebas penyakit.

Otomatis dengan keputusan itu sejumlah pihak yang ingin bisa mengimpor dari negara yang tidak bebas penyakit kembali mentok. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah bagaimana caranya mendapatkan tambahan kuota impor dari negara yang bebas penyakit. Kasus suap diduga untuk mendapatkan tambahan kuota impor itu. Apakah benar demikian? Kita tunggu hasil penyelidikan petugas dan juga nanti di pengadilan.

Pesan lain dari kasus ini, kasus dugaan suap impor daging sapi diharapkan menjadi pintu masuk untuk membuka kongkalikong lainnya di sektor pertanian. Ada banyak masalah di hulu dan hilir sektor pertanian. KPK sendiri sudah memasukkan pemberantasan korupsi yang menggerogoti ketahanan pangan termasuk dalam prioritas mereka. Sekali lagi kita tunggu kelanjutannya. (ANDREAS MARYOTO)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

    Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

    Earn Smart
    Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

    Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

    Whats New
    Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

    Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

    Whats New
    1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

    1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

    Spend Smart
    Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

    Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

    Whats New
    Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

    Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

    Whats New
    Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

    Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

    Whats New
    BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

    BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

    Work Smart
    Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

    Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

    Whats New
    Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

    Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

    Whats New
    Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

    Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

    Whats New
    Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

    Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

    Whats New
    Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

    Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

    Whats New
    Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

    Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

    Whats New
    Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

    Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

    Work Smart
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com