Tarsih adalah ibu mertua tersangka LD (48) yang terlibat kasus perdagangan bayi. Sehari-hari LD menjual pakaian bekas. Meski demikian, LD sering menerima tamu yang sebagian besar adalah perempuan hamil.
”Saya pernah melihat LD membantu seorang ibu yang sedang membawa bayi. Si ibu ngakunya ditinggal suami. Agar bisa bekerja, si ibu menitipkan bayinya kepada LD,” ujar Tarsih.
Di tempat lain, di ruang konseling Polres Metro Jakarta Barat, di antara para penyidik dan tersangka terungkap cerita, seorang ibu berinisial W menjual bayinya, Hanif Rizky, kepada tersangka E (40). Tersangka E kemudian menjualnya kepada tersangka lain yang berprofesi bidan, berinisial Has (63).
Saat dibawa ke Has, kata Kasat Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Hengki Haryadi, mengutip keterangan para tersangka, bayi Hanif ditolak karena dinilai tidak tampan dan sakit-sakitan.
E mengembalikan bayi Hanif kepada sang bunda. Namun, W menolak menerima kembali anaknya karena beralasan tidak mampu merawat. W pun menghilang. Tersangka E akhirnya menyerahkan Hanif kepada Rini yang sudah 15 tahun menikah, tetapi belum dikaruniai anak. ”Saya tidak membeli bayi itu. Saya hanya mengganti biaya persalinan Rp 2 juta,” kata Rini.
Kasus yang diduga melibatkan tersangka Has, LD, E, M (57), dan LS (35) untuk sementara diduga karena latar belakang kemiskinan yang dialami keluarga orangtua bayi. ”Kasus Has dan kawan-kawan ini diwarnai persoalan kemiskinan dan kemungkinan bayi hasil hubungan gelap,” kata Hengki, Kamis (7/2) sore.
Praktik ini diduga melibatkan birokrasi yang membuat Has memiliki dokumen bayi. Dengan bekal stempel bidannya, Has bisa mendapatkan akta kelahiran, bahkan paspor untuk bayi yang hendak ia jual.
”Saat ini kami masih memeriksa petugas Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Selanjutnya, kami akan memeriksa petugas Sudin Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Pusat,” ujar Hengki.
Menurut Ajun Komisaris Marson Marbun, Kanit Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat, akta kelahiran bayi Teddy Lukas adalah dokumen asli, tetapi palsu. ”Datanya palsu, tetapi fisik dokumen asli.”
Jadi, dapat dipastikan ada orang dalam yang ikut bermain. ”Kalau paspor atas nama Teddy itu asli. Petugas pembuat paspor tidak tahu bila akta kelahiran yang diterima asli, tetapi palsu,” ucap Marson.
Rencananya, bayi Teddy hendak dijual kepada warga Singapura berinisial Ch yang sudah memberi uang kepada Has sebesar 500 dollar Singapura (sekitar Rp 3,9 juta).
Aktivis sosial dari Forum Bersama Masyarakat Penggugat di Koja, Jakarta Utara, Ricardo Hutahaean, menambahkan, dari 25 kasus penjualan bayi yang ditanganinya sejak 1990, mayoritas terkait kemiskinan. Orangtua bahkan rela menyerahkan bayinya kepada pengadopsi hanya dengan melunasi biaya persalinan di rumah sakit.
Menurut Ricardo, kasus yang mencuat belakangan ini hanyalah fenomena puncak gunung es, terutama praktik adopsi secara ilegal. Hingga kini, ada saja orangtua yang merelakan bayinya diadopsi karena ketidakmampuan membiayai hidup anak tersebut.
Beberapa orangtua yang telanjur menyerahkan bayinya belakangan ini kangen. Mereka ingin bertemu anaknya, tetapi tak tahu harus ke mana mencarinya.
Kelemahan administrasi kependudukan dimanfaatkan untuk mengalihkan dan mengaburkan identitas bayi. ”Tak mudah bagi warga di daerah abu-abu mendapatkan akta kelahiran karena ketiadaan KTP dan kartu keluarga. Celah ini dimanfaatkan untuk adopsi ilegal atau bahkan perdagangan bayi,” ujarnya.
Pada beberapa kasus, lanjut Ricardo, bayi ”diijonkan” sejak di dalam kandungan. Pada usia 7-8 bulan di kandungan, pengadopsi membiayai orangtua bayi dengan mengganti biaya pemeriksaan dokter atau membelikan susu khusus untuk ibu hamil. Orang-orang yang mengaku mengadopsi inilah yang perlu mendapat perhatian lebih. Sebab, pengadopsi bisa saja menjual bayi itu kepada orang lain tanpa sepengetahuan orangtua bayi.
Menurut kriminolog dari Universitas Indonesia, Romany Sihite, kasus ini bukan hal baru. Dari beberapa kajian, jenis kejahatan sangat terkait dengan peran jendernya.
Dalam kasus ini, katanya, modus kejahatan yang dilakukan pelaku sangat terkait dengan peran sosial perempuan mengasuh anak. Apalagi, di antara pelaku adalah bidan sehingga mereka dengan mudah dapat melancarkan kejahatan.
Namun, di balik itu semua, kata Romany, kepolisian perlu menyelidiki jaringan sindikat yang mengendalikan kerja para pelaku karena bayi itu diperdagangkan ke luar negeri dan sudah berlangsung beberapa tahun.
Hal itu berarti ada sejumlah pihak yang terlibat, seperti penyedia dokumen untuk keberangkatan bayi-bayi itu ke luar negeri. Begitu pula dengan penerbit akta kelahiran bayi-bayi tersebut.
”Kalau dilihat dari kerja sindikatnya, mereka bekerja sangat rapi. Ada jenjangnya sebagai pencari bayi, pencari dokumen kelengkapan bayi, dan pengiriman bayi ke luar negeri,” katanya.
Kepolisian, lanjutnya, juga tidak bisa berhenti sampai masalah jaringan penyedia dokumen hukum bagi para bayi, tetapi juga sindikat di luar negeri yang memperoleh pasokan bayi dari para pelaku.
Tidak menutup kemungkinan, bayi-bayi yang dibawa para pelaku ke Singapura itu dijual lagi ke negara lain. ”Perlu dipertanyakan pula, bayi itu benar dijual untuk diadopsi atau malah organ tubuhnya diperjualbelikan. Jual beli organ tubuh ini sempat marak di dunia barat,” ucapnya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfa mengungkapkan, perdagangan bayi dan anak yang terdata di KPAI masih tergolong minim, tetapi diindikasikan jumlah riilnya jauh lebih besar.
”Kemungkinan besar masih banyak yang tidak melapor ke kepolisian terkait perdagangan anak ini,” katanya.
Apalagi, berdasarkan beberapa kasus sebelumnya, lanjut Maria, ditemukan penyewaan anak di Jakarta pada 2011. Jumlahnya mencapai 200 anak yang disewakan untuk mengemis.
Namun, dari beberapa kasus yang ada, kata Maria, sindikat perdagangan anak itu memiliki banyak mata rantai. Antarsindikat di dalam mata rantai itu umumnya tidak saling kenal karena komunikasi cukup dilakukan lewat hubungan telepon.
”Jadi, kasus perdagangan anak ini membutuhkan pelacakan secara menyeluruh. Tidak bisa puas pada pengungkapan kawanan yang menghimpun bayi, tetapi juga sindikat yang mengendalikannya, termasuk pasar permintaannya,” paparnya. (MKN/MDN/WIN)