Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisnis yang Lebih Baik

Kompas.com - 11/02/2013, 08:06 WIB

KOMPAS.com - Spirit baru, itulah yang banyak diketengahkan dalam perayaan tahun baru Imlek kali ini. Lebih dari seperempat penduduk dunia merayakan tahun baru China ini dengan beragam versi, tetapi intinya menjadikan tahun baru ini sebagai titik tolak baru untuk meraih hal lebih baik. Lebih baik dalam hal rezeki, kesehatan, kegembiraan, kesejahteraan, keberuntungan yang datang beruntun-runtun, kemenangan, dan kemakmuran.

Ada pula yang menambahkan kiranya segala sesuatu yang direncanakan berjalan mulus dan panjang umur. Setiap tahun ucapan selama tahun baru Imlek berkisar pada sejumlah tema tersebut dan jadilah Imlek tahun penuh asa. Tahun baru Imlek juga kerap diwarnai dengan perenungan yang dalam. Menjadi ajang merefleksikan apa yang sudah lewat. Hal yang tidak baik dienyahkan untuk memperoleh yang lebih baik.

Dalam konteks elan dan asa baru itu, banyak pelaku ekonomi Indonesia menaruh harapan besar untuk bisa lebih berkembang tahun ini. Pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen tahun 2012 memang tidak spektakuler, tetapi patut diakui bahwa pencapaian itu merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Kini mencuat asa untuk meraih pertumbuhan lebih besar karena didorong spirit baru untuk lebih baik. Indonesia yang belakangan mengalami defisit perdagangan cukup besar justru menjadi pemicu untuk melonjakkan produksi di semua sektor.

Lonjakan produksi untuk melonjakkan ekspor dan menahan impor menjadi tema yang paling menarik kini. Dalam pandangan paling sederhana, defisit tidak akan terjadi kalau ekspor melimpah. Defisit tidak akan terjadi kalau impor sangat terkendali. Kita, sadar atau tidak sadar, kerap kali ”kebangetan”. Kita mengimpor apa saja dan sungguh-sungguh sesuka hati. Kita impor pisang, kelapa, durian, pepaya, jeruk, manggis, dan segala komoditas yang di negeri ini justru demikian berlimpah ruah.

Kita fasih mengatakan membela petani, tetapi kita suka menganiaya mereka dengan makan buah-buah impor, bukan buah hasil tanaman mereka. Kita lembut mengatakan membela petani dan nelayan, tetapi kita terbiasa makan sayur-sayur impor, pelbagai jenis ikan impor yang mahal harganya. Bayangkan wortel, taoge, cai sin, dan sebagainya kita impor dengan sewenang-wenang.

Kita pun suka mengatakan cinta buatan dalam negeri. Namun, kita suka bergaya dengan segala jenis barang impor. Ada sepatu dalam negeri yang bagus, tetapi kita suka memanjakan diri dengan mengenakan sepatu, kaus kaki, pakaian, dan pakaian dalam buatan luar negeri. Tas buatan dalam negeri sangat baik, tetapi kita suka bangga menenteng tas eks luar negeri. Kita terbuai oleh kebanggaan semu yang sebetulnya sangat menyedihkan. Kita remehkan produk dalam negeri yang notabene dikerjakan saudara-saudara kita sendiri.

Kini muncul ide besar redenominasi rupiah. Baiklah kita setuju bahwa ide itu didasari tujuan baik. Namun, apakah kita mengakui bahwa kita sudah bekerja cukup keras untuk membuat rupiah gagah perkasa? Apakah kita seperti halnya Singapura, Australia, dan lain-lain berjuang keras membuat mata uang mereka mentereng di antara mata uang lain? Mengapa kita tidak mengambil jalan elegan, bekerja keras menaikkan ekspor secara signifikan, bukankah nilai rupiah tidak melunglai seperti sekarang?

Sebaliknya, kalau kita masih saja royal melepas rupiah untuk membeli dollar AS atau mata uang lain untuk mengimpor pelbagai kebutuhan, rupiah sulit untuk bernilai tinggi. Kalau kita sudah mempunyai paradigma yang berbeda, kalau kita sudah lebih tangguh mengekspor daripada mengimpor, dan kalau kita pelit melepas rupiah, redenominasi itu akan lebih mudah mencapai tujuannya.

Kita harapkan spirit dan energi baru di awal tahun ini memberi kekuatan dahsyat untuk membangun Indonesia lebih baik. (Abun Sanda)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com