Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Uang Rupiah, Menekan Biaya Rp 2 Triliun

Kompas.com - 27/02/2013, 02:49 WIB

Sebagai alat pembayaran, uang rupiah menjadi barang yang cepat sekali berpindah tangan. Perputaran uang dalam berbagai aktivitas masyarakat membuat kondisinya cepat rusak dan tidak layak. Namun, tak jarang, perilaku kita turut memperparah kualitas rupiah, khususnya uang kertas.

Kebanyakan dari kita memperlakukan uang sembarangan. Menyimpannya di saku dengan melipat-lipat atau mencoret-coret uang dengan seenaknya. Kita juga kerap menyusun uang kertas dengan menggunakan staples sehingga kondisi fisik uang menjadi berlubang. Harus diakui, kita memang kurang menyayangi uang rupiah kita. Padahal, kecerobohan kita itu membuat masa usia pakai uang menjadi lebih singkat.

Hal itu kontras dengan perlakuan kita terhadap mata uang asing, seperti dollar AS, atau mata uang negara lain. Kita selalu menjaga dollar AS dalam kondisi baik. Kita tidak rela jika dollar AS yang kita miliki terlipat atau rusak fisiknya.

Uang yang kondisinya lusuh dan rusak tersebut oleh Bank Indonesia dimasukkan dalam kategori uang tak layak edar. Menurut data BI selama Januari-November 2012, uang tak layak edar mencapai nilai Rp 44,97 triliun, yang terdiri atas 3,44 miliar lembar. Dari jumlah tersebut, porsi uang lusuh terbesar adalah dari nominal Rp 2.000 sebesar 28,54 persen, nominal Rp 5.000 sebesar 24,42 persen, nominal Rp 10.000 mencapai 14,38 persen, dan nominal Rp 1.000 sebesar 13,56 persen. Selebihnya, uang pecahan besar Rp 20.000, Rp 50.000, dan Rp 100.000 di bawah 10 persen.

Uang tak layak tersebut diperoleh dari penukaran masyarakat, atau dari sortir uang yang masuk ke BI dari perbankan. Uang tak layak itu lantas dimusnahkan dan BI harus menggantinya dengan uang baru. Penarikan uang yang tak layak dilakukan untuk menjaga kualitas uang beredar di masyarakat. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga uang rupiah yang beredar berada dalam kualitas yang baik sehingga mudah dikenali ciri-ciri keasliannya.

Jika ingin menukarkan uang rupiah yang sudah lusuh, rusak, dan uang telah dicabut atau ditarik peredarannya, kita dapat menukarkannya di kantor BI setempat atau pada waktu kegiatan kas keliling BI, dan di bank umum yang melayani penukaran uang. Layanan kas keliling BI tidak hanya diadakan di kota besar, tetapi juga di wilayah terpencil, di pulau-pulau terluar di Indonesia. Di wilayah itu, kondisi uang biasanya lebih parah karena peredarannya terbatas di wilayah itu saja. Uang tidak masuk ke perbankan karena bank-bank masih enggan menjangkau kawasan terpencil. Akibatnya, penarikan uang tak layak dilakukan secara manual oleh BI melalui kas keliling.

Namun, sadarkah kita bahwa biaya pencetakan uang itu sangat mahal. Sepanjang tahun 2012, biaya untuk mencetak pengadaan uang mencapai Rp 2 triliun. Tiap tahun biaya pencetakan mengalami kenaikan sekitar 10 persen. Jika kita sadar betapa mahalnya biaya pencetakan uang, seharusnya kita bisa lebih bijak dalam memperlakukan uang rupiah.

Bank Indonesia sudah mengampanyekan 3D untuk menyayangi rupiah, yakni didapat, disayang, dan disimpan. Memang slogan itu belum sepopuler 3D untuk mengenali keaslian rupiah, yakni dilihat, diraba, diterawang. Tanpa perlu menunggu ajakan BI, seharusnya kita bisa sadar dengan sendirinya untuk lebih menyayangi rupiah. (ENY PRIHTIYANI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com