Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Investasi Emas "Bodong"

Kompas.com - 11/03/2013, 03:06 WIB

Oleh A TONY PRASETIANTONO

Kasus penipuan berkedok investasi kembali terjadi oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah. Kali ini modusnya lebih ”meyakinkan”, yakni menggunakan emas sebagai basis komoditas, serta embel-embel syariah.

Emas memang menjadi logam mulia yang kian favorit, terutama setelah investasi surat berharga (saham dan obligasi) mengalami masalah, seiring dengan meledaknya ”gelembung finansial” pada krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008-2009. Label syariah juga sengaja ditempelkan pelaku sebagai upaya ”pemasaran” agar produk ini lebih laku dijual. Kedok emas dan syariah ini merupakan ”inovasi” terbaru penipunya, Taufik Michael Ong, warga negara Malaysia.

Modus operandinya pada dasarnya sama saja dengan kasus-kasus penipuan sebelumnya. Bedanya, dalam kasus konvensional, nasabah menabung uang tunai dengan janji mendapatkan imbal hasil (return atau yield) yang tinggi, jauh melampaui bunga deposito bank. Dalam kasus PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), nasabah wajib membeli emas seharga Rp 710.800 per 1 gram—lebih tinggi daripada harga pasar sekitar Rp 560.000—dengan janji mendapatkan imbal hasil minimal 2 persen per bulan, atau ekuivalen 24 persen per tahun. Return ini jauh lebih tinggi daripada suku bunga deposito di bank saat ini sekitar 5-6 persen per tahun, sesuai dengan batas maksimum penjaminan 5,5 persen oleh Lembaga Penjamin Simpangan (LPS).

Praktik investasi emas GTIS ini baru berlangsung dua tahun dan telah berhasil mengumpulkan 10.000 investor. Jika benar omzetnya hingga 3 ton emas, berarti Rp 2,15 triliun. Angka ini sungguh fantastis. Sebagaimana lazimnya skema Ponzi, nasabah pada awalnya lancar mendapatkan haknya berupa imbal hasil minimal 2 persen per bulan (bahkan ada yang 4,5 persen per bulan). Namun, dalam beberapa bulan terakhir, nasabah mulai tidak menerima lagi haknya, dan puncaknya adalah Taufik Michael Ong kabur, diduga ke luar negeri.

Kasus klasik ini terus saja berulang, seolah-olah nasabah tidak jera untuk terjerumus ke lubang yang sama. Lalu, siapa yang bersalah? Apakah nasabah yang miskin informasi? Ataukah nasabah cenderung ”serakah” untuk mendapatkan bunga yang besar tanpa harus bekerja keras? Atau, bisakah kita menyalahkan suku bunga deposito di bank yang kian rendah sehingga tidak menarik? Ataukah tidak adanya regulasi pemerintah yang dapat mencegah praktik semacam ini?

Praktik skema Ponzi, yakni membayar imbalan (return) yang besar kepada investor yang dananya berasal dari investor lain yang datang belakangan sehingga lama-kelamaan bunga dan pokok investor tidak dapat dibayar, bukan monopoli di negara berkembang saja. Bahkan di Amerika Serikat, skema Ponzi juga terjadi. Kasus yang paling spektakuler karena terjadi di level elite adalah kasus Bernard Madoff.

Melalui Bernard L Madoff Investment Securities, skema Ponzi dijalankan lebih rapi sehingga bertahan lama. Biasanya skema Ponzi meledak dalam jangka pendek, misalnya 2-3 tahun seperti kasus GTIS. Namun, karena Madoff tidak memberikan imbal hasil yang berlebihan, praktik kecurangannya berlangsung awet, sejak 1990-an hingga 2008. Selama periode tersebut, Madoff memberikan imbal hasil 10 persen. Pada akhir praktiknya tahun 2008, Madoff memberikan imbal hasil 5 persen di saat harga surat berharga di New York terpangkas 38 persen karena terimbas krisis.

Praktik fraud oleh Madoff berhasil menghimpun 4.800 nasabah dalam 17 tahun. Berarti GTIS lebih ”hebat” karena bisa mendapat 10.000 nasabah dalam waktu hanya dua tahun. Fraud Madoff diperkirakan mencapai 64,8 miliar dollar AS. Kasus Madoff terbongkar karena laporan anaknya sendiri pada Desember 2008, saat krisis subprime mortgage baru saja meledak September 2008. Yang mengesankan, Madoff dikenai tuduhan melanggar 11 tuduhan kriminal. Hukumannya pun mantap: 150 tahun penjara plus mengembalikan uang 170 miliar dollar AS.

Itulah kejahatan skema Ponzi terbesar dalam sejarah. Sebagai selebritas pasar modal Wall Street, Madoff memiliki jaringan Yahudi yang kuat sehingga berhasil menipu sutradara terkenal Steven Spielberg, serta aktor Kevin Bacon dan John Malkovich, untuk jadi nasabahnya. Modus semacam ini praktis juga dijiplak Taufik Michael Ong dalam kasus GTIS.

Ada lagi hal mirip antara Madoff dan Ong: keduanya menipu di saat suku bunga simpanan di bank berada pada level yang rendah. Di AS, Kepala The Fed (Bank Sentral) Alan Greenspan berhasil menurunkan suku bunganya sejak awal 1990-an. Akibatnya terjadi migrasi dana dari bank ke pasar modal. Di Indonesia, gejalanya mirip. Suku bunga bank terus turun sehingga dana orang-orang kaya mengalir ke bursa efek. Sebagian lainnya mencoba mencari peruntungan melalui investasi lain, tetapi ternyata berujung ”bodong” (hampa). Investasi tipuan.

Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, aparat hukum harus mengejar Ong sampai dapat, lalu diganjar hukuman maksimum seperti Madoff. Efek jera akan menjadi kunci agar kasus serupa tidak terulang lagi dengan mudah.

Kedua, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus membentuk satuan tugas khusus, seperti Densus 88 pada kepolisian, untuk mengendus pergerakan praktik-praktik serupa yang diduga masih banyak berkedok koperasi, simpan-pinjam, dan varian lainnya. Agar lebih gesit dan bertenaga, OJK perlu bekerja sama dengan kepolisian. Kejahatan praktik Ponzi merupakan wilayah pidana yang memerlukan keahlian keuangan oleh OJK dan keahlian mengendus dan menumpas oleh aparat kepolisian. Upaya preventif jauh lebih penting. Biasanya kasus terungkap setelah volume kerugian mencapai angka fantastis.

Ketiga, upaya sosialisasi harus ditingkatkan. Tidak saja kepada masyarakat yang awam soal rekayasa finansial, tetapi juga terhadap institusi kemasyarakatan yang berpotensi disalahgunakan sebagai kedok. Dengan cerdik Ong telah memanfaatkan institusi keagamaan serta menggunakan istilah syariah sebagai payung penipuannya. Bahkan nama Ketua DPR Marzuki Alie sempat dibawa-bawa Ong untuk melegitimasikan praktik Ponzinya. Ini sangat memprihatinkan dan tak boleh terulang.

Masyarakat perlu diberi tahu bahwa seharusnya mereka menaruh dananya pada institusi keuangan yang mapan dan jelas payung supervisinya, misalnya bank yang berada di bawah supervisi OJK dan dikawal dengan penjaminan LPS. Jika tanpa supervisi formal, tidak ada yang bisa menjamin penyimpangan praktiknya.

Di dunia ini tidak ada jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan. Tidak ada kekayaan yang bersifat instan. Semua itu hanya bisa dicapai melalui kerja keras yang tiada henti.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketegangan Geopolitik Timur Tengah Dinilai Bikin Saham-saham Berfundamental Bagus Terdiskon

Ketegangan Geopolitik Timur Tengah Dinilai Bikin Saham-saham Berfundamental Bagus Terdiskon

Whats New
Sri Mulyani Sebut Sedang Siapkan Anggaran Pemerintah Prabowo-Gibran

Sri Mulyani Sebut Sedang Siapkan Anggaran Pemerintah Prabowo-Gibran

Whats New
Nilai Ekspor Indonesia Naik Jadi 19,62 Miliar pada April 2024

Nilai Ekspor Indonesia Naik Jadi 19,62 Miliar pada April 2024

Whats New
Adaro Energy Bakal Tebar Dividen Final Rp 6,4 Triliun Tahun Ini

Adaro Energy Bakal Tebar Dividen Final Rp 6,4 Triliun Tahun Ini

Whats New
Masuknya Starlink Dikhawatirkan Ancam Bisnis Operator Lokal, Luhut: Semua Harus Berkompetisi

Masuknya Starlink Dikhawatirkan Ancam Bisnis Operator Lokal, Luhut: Semua Harus Berkompetisi

Whats New
OJK Bakal Bikin Ketentuan Tarif Premi Asuransi Kendaraan Listrik

OJK Bakal Bikin Ketentuan Tarif Premi Asuransi Kendaraan Listrik

Whats New
Eks Pejabatnya Ditahan KPK Kasus Pengadaan Lahan, PTPN Sebut Dukung Proses Hukum

Eks Pejabatnya Ditahan KPK Kasus Pengadaan Lahan, PTPN Sebut Dukung Proses Hukum

Whats New
Bahlil Ajak Investor Australia ke Weda Bay

Bahlil Ajak Investor Australia ke Weda Bay

Whats New
Yusuf Mansur Pastikan Tidak Ada Uang Nasabah yang Tertinggal di Paytren

Yusuf Mansur Pastikan Tidak Ada Uang Nasabah yang Tertinggal di Paytren

Whats New
Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Spend Smart
Bisnis Asuransi Tidak Normal, OJK Beri Peringatan Tegas untuk Pasaraya Life

Bisnis Asuransi Tidak Normal, OJK Beri Peringatan Tegas untuk Pasaraya Life

Whats New
Resmi, Neraca Dagang RI Surplus 4 Tahun Berturut-turut

Resmi, Neraca Dagang RI Surplus 4 Tahun Berturut-turut

Whats New
Strategi Medco Genjot Produksi Migas  dan Terapkan Transisi Energi

Strategi Medco Genjot Produksi Migas dan Terapkan Transisi Energi

Whats New
Daftar PSN Transportasi yang Sudah Rampung dan Masih Berjalan

Daftar PSN Transportasi yang Sudah Rampung dan Masih Berjalan

Whats New
72 Calon Masinis Whoosh Dilatih oleh Masinis Kereta Cepat dari China

72 Calon Masinis Whoosh Dilatih oleh Masinis Kereta Cepat dari China

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com