Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/03/2013, 07:26 WIB

KOMPAS.com - Pada suatu siang, seusai ingar-bingar Imlek tahun 2007, Lin Xiaohong, usahawan properti di Indonesia, Singapura, Shanghai, dan Hongkong SAR, kagum melihat sebuah restoran yum cha di Distrik Central Hongkong SAR. Luas restoran itu lebih kurang 850 meter persegi, tetapi sangat ramai. Pengunjung hampir tidak pernah putus mengisi bangku-bangku di sana sejak pukul 12.00 hingga pukul 14.15.

Dari harga-harga makanan, restoran itu bisa dikategorikan kelas menengah ke atas. Seorang pengunjung rata-rata mengeluarkan setara Rp 800.000. Apabila sehari ada 1.500 pengunjung, maka omzetnya bisa Rp 1,2 miliar per hari atau Rp 36 miliar per bulan. Ini jumlah yang besar. Sebutlah harga sewa ruang bisnis di Hongkong sangat mahal, tetapi menjadi tidak ada artinya dibandingkan omzet per hari yang besar tadi. Omzet akan makin hebat pada hari Minggu dan hari libur.

Lin tertarik membuka restoran di bekas koloni Inggris itu. Maka, bersama istrinya, Melina, ia mengajak tiga chef yum cha yang terkenal di Hongkong SAR untuk bekerja dengannya dengan imbalan lebih baik. Ia kemudian mendapatkan tempat di Distrik Wan Chai, enam blok dari Distrik Central. Lin dan istrinya bahagia melihat betapa restoran ”tio chiu” yang mereka bangun dipenuhi pengunjung.

Sukses dengan restoran di Wan Chai, ia buka lagi restoran di lobi beberapa propertinya di Hongkong, Shanghai, dan China. Tidak semua meraih laba besar seperti di Wan Chai, tetapi tetap melegakan.

Ia akhirnya melirik Jakarta. Mengapa Jakarta? Oleh karena di sini terdapat banyak mal yang berkualitas baik. Dan yang melegakan, restoran menjadi kunci sukses mal. Restoran dan kafe selalu di awal. Butik mewah, arloji, tas, aksesori, dan sebagainya baru menyusul kemudian.

Menggandeng usahawan lokal, Lin membuka restoran di sebuah mal Jakarta. Hasilnya sangat melegakan. Memang tidak sebagus restorannya di Wan Chai, Hongkong SAR, tetapi labanya sangat cepat mengembalikan modalnya.

Sejumlah eksekutif di Jakarta juga melihat seperti yang dilihat oleh Lin dan istrinya. Mereka, baik sendiri maupun bersama teman-temannya, membuka restoran kelas atas di mal kelas atas pula. Begitu juga dengan beberapa CEO muda. Mereka umumnya bersama beberapa teman membuka restoran dengan makanan-makanan khas. Restoran mereka mendapat sambutan baik di pasar.

Misalnya membuka restoran khas Indonesia, dengan penajaman kekhasan pada beberapa jenis makanan. Sekalipun harga sewa di mal kelas satu memang mahal, restoran yang laris bisa menutupi harga sewa yang ada.

Restoran diyakini masih menjadi faktor penting sebuah mal. Banyak pengunjung datang mengunjungi mal bukan untuk belanja, tetapi untuk rileks, kongko-kongko, dan makan. Sepanjang apa yang ditawarkan enak, pengunjung pasti membeludak. (Abun Sanda)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com