Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memaknai Krisis Bawang Putih

Kompas.com - 26/03/2013, 02:22 WIB

Oleh Adig Suwandi 


Hanya beberapa bulan setelah dikeluarkannya kebijakan larangan sementara pengimporan 20 produk hortikultura, Indonesia sudah dihadapkan pada krisis bawang putih.

Hanya dalam hitungan hari, harga bawang putih di pasaran melonjak hingga lima kali lipat. Resultan sejumlah indikator kunci, mulai dari lemahnya pemantauan stok, ketidakakuratan perencanaan pasokan komoditas, antisipasi kebutuhan yang tidak valid, hingga profesionalisme importir, ditengarai menjadi pemicu minimnya stok di pasaran.

Begitu dihadapkan pada kepiluan dan kegamangan kolosal atas kemungkinan terus melonjaknya permintaan bawang putih, publik juga sudah bisa menebak langkah yang dimainkan pemerintah. Atas nama stabilisasi harga, terjaminnya pasokan bagi konsumen, dan terkendalinya inflasi, impor jadi pilihan tunggal. Benar saja, otoritas perdagangan sudah mendesain impor bawang putih untuk kali ini, 65.410 ton. Pada tahap pertama, dengan urgensi tingkat kemendesakannya, konon telah disiapkan impor 29.130 ton dari China dan India.

Kenaikan harga komoditas agrobisnis primer di pasaran dengan tendensi minim dinikmati petani secara utuh sudah berulang kali terjadi. Akar penyebabnya pun terlalu kompleks untuk diurai. Apakah semata-mata permintaan melonjak luar biasa pada momen tertentu, produksi dalam negeri turun, dan ketidaklancaran kegiatan bongkar-muat barang di pelabuhan, ataukah tidak berjalannya mekanisme pemantauan stok sehingga tindakan kuratif mengatasinya terkesan serba mendadak?

Analogi prahara bawang putih mirip cabai merah beberapa waktu lalu. Berkedok mengatasi dampak membubungnya harga, pemerintah juga mengeluarkan jurus impor. Tak ayal lagi jika petani dan produsen agrobisnis yang telah mengantisipasi peluang besar dan keuntungan dahsyat dari usaha tani cabai merah—dengan melakukan ekspansi areal dan melaksanakan intensifikasi melalui budidaya terbaik—terpaksa harus gigit jari.

Berdalih membela kepentingan konsumen dengan jumlah lebih banyak, produk impor berlabel harga jauh lebih murah didatangkan dengan sejumlah kemudahan. Tak peduli tindakan itu menjadikan produk lokal tak berkemampuan menandinginya dan menyurutnya animo petani.

Kenyataan faktual impor bawah putih selama bertahun-tahun—terakhir 415.000 ton senilai 242,3 juta dollar AS atau setara Rp 2,3 triliun pada 2012—tidak juga menjadi pendorong dikeluarkannya kebijakan akuntabel terkait peluang bisnis komoditas yang sangat menggiurkan tersebut. Sumber daya alam Indonesia, kesesuaian agroklimat, dan ketersediaan teknologi memberikan basis keunggulan kompetitif bagi terselenggaranya kegiatan budidaya sejumlah komoditas agrobisnis primer, termasuk bawang putih dan bawang merah. Yang diperlukan petani hanyalah kejelasan arah terkait perencanaan komoditas. Suatu instrumen kebijakan pemberdayaan yang memungkinkan mereka dapat memilih varietas unggul dan mengadopsi agroteknologi, serta berkeyakinan bahwa bawang putih memberikan nilai ekonomi lebih meski didesain.

Peran negara digugat

Eksekusi program strategis, seperti peningkatan produksi menuju swasembada bagi sejumlah produk agrobisnis primer yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tentu tidak terlepas dari peran negara. Petani berharap negara hadir, berkorban, dan melindungi mereka, antara lain melalui jaminan pendapatan minimum dan proteksi terhadap masuknya produk sejenis saat panen raya tiba atau stok berlebih.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kenaikan BI Rate Tak Beri Dampak Langsung ke Industri Fintech Lending

Kenaikan BI Rate Tak Beri Dampak Langsung ke Industri Fintech Lending

Whats New
Menteri Trenggono Ungkap Ada 5 Perusaahan Vietnam yang Tertarik Investasi Benur

Menteri Trenggono Ungkap Ada 5 Perusaahan Vietnam yang Tertarik Investasi Benur

Whats New
Stagwell Tambahkan Leverate Group ke Program Global Affiliate

Stagwell Tambahkan Leverate Group ke Program Global Affiliate

Whats New
Tertahan Sejak 2022, Bea Cukai Akhirnya Serahkan Alat Belajar SLB ke Pihak Sekolah

Tertahan Sejak 2022, Bea Cukai Akhirnya Serahkan Alat Belajar SLB ke Pihak Sekolah

Whats New
BI Beberkan Perbedaan Kondisi Ekonomi Saat Ini dengan Krisis 1998

BI Beberkan Perbedaan Kondisi Ekonomi Saat Ini dengan Krisis 1998

Whats New
Kemenperin: Indeks Kepercayaan Industri April Melambat Jadi 52,30

Kemenperin: Indeks Kepercayaan Industri April Melambat Jadi 52,30

Whats New
Intip 'Modern'-nya Pasar Tradisional Lebak Budi di Lampung, Usai Tawar Menawar Bayarnya Pakai QRIS

Intip "Modern"-nya Pasar Tradisional Lebak Budi di Lampung, Usai Tawar Menawar Bayarnya Pakai QRIS

Whats New
IHSG Ditutup Menguat 119 Poin, Rupiah Masih Lesu

IHSG Ditutup Menguat 119 Poin, Rupiah Masih Lesu

Whats New
Logam Mulia Bisa Jadi Pelindung Aset, Bagaimana Penjelasannya?

Logam Mulia Bisa Jadi Pelindung Aset, Bagaimana Penjelasannya?

BrandzView
KKP Mulai Uji Coba Penangkapan Ikan Terukur, Ini Lokasinya

KKP Mulai Uji Coba Penangkapan Ikan Terukur, Ini Lokasinya

Whats New
Namanya 'Diposting' Jadi Menteri BUMN di Medsos, Menteri KKP: Kita Urus Lobster Dulu...

Namanya "Diposting" Jadi Menteri BUMN di Medsos, Menteri KKP: Kita Urus Lobster Dulu...

Whats New
Genjot Dana Murah, Bank Mega Syariah Gelar Program Tabungan Berhadiah

Genjot Dana Murah, Bank Mega Syariah Gelar Program Tabungan Berhadiah

Whats New
Foxconn Tak Kunjung Bangun Pabrik di RI, Bahlil: Masih Nego Terus...

Foxconn Tak Kunjung Bangun Pabrik di RI, Bahlil: Masih Nego Terus...

Whats New
Strategi Bisnis Bank Jatim di Tengah Tren Suku Bunga Tinggi

Strategi Bisnis Bank Jatim di Tengah Tren Suku Bunga Tinggi

Whats New
Sambangi Gudang DHL, Dirjen Bea Cukai: Proses Kepabeanan Tak Bisa Dipisahkan dari Perusahaan Jasa Titipan

Sambangi Gudang DHL, Dirjen Bea Cukai: Proses Kepabeanan Tak Bisa Dipisahkan dari Perusahaan Jasa Titipan

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com