Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketahanan Energi, Bukan Profit Jangka Pendek

Kompas.com - 30/04/2013, 03:31 WIB

Pengantar Redaksi

Harian ”Kompas” mengadakan Diskusi Panel Ekonomi Terbatas pada 18 April lalu dengan tema ”Minyak Bumi, Masalah dan Solusinya”. Sebagai panelis adalah Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar, mantan Wakil Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Abdul Muin, Direktur Indonesia Center for Green Economy Surya University Darmawan Prasodjo, pengajar ekonomi di Universitas Indonesia Faisal Basri, dan peneliti senior CSIS J Kristiadi. Penanggap adalah anggota DPR, Satya W Yudha; koordinator nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah; koordinator The Extractive Industries Transparancey Initiative Indonesia, Ambarsari Dwi Cahyani; dan moderator Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Rhenald Kasali. Laporan disajikan di bawah ini serta di halaman 6 dan 7.

***

Keputusan pemerintah yang ditunggu masyarakat tentang pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sampai kemarin tidak kunjung ada. Seusai rapat terbatas di Istana Negara kemarin, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan, pilihan kebijakan dua harga BBM kemungkinan ditolak.

Ketidakpastian berkepanjangan tentang pengurangan subsidi BBM sudah memengaruhi jalannya kehidupan ekonomi masyarakat, terutama rakyat kecil. Petani dan nelayan segera merasakan dampak ketidakpastian tersebut sebab pemerintah ketat menjatah peredaran BBM bersubsidi. Keadaan ini tidak produktif bagi ekonomi nasional.

Subsidi BBM juga menekan APBN. Kuota BBM bersubsidi dalam APBN 2013 besarnya 46 juta kiloliter. Melihat pengalaman 2012, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini dapat membengkak menjadi 48 juta-53 juta kiloliter. Bila pemerintah mempertahankan pola subsidi saat ini, harus ada tambahan utang baru Rp 180 triliun dengan akibat defisit anggaran 3,8 persen. Adapun undang-undang menetapkan batas defisit 3 persen.

Kebijakan subsidi saat ini lebih jauh lagi memperlihatkan ketidakkonsistenan pemerintah. Selain yang menikmati subsidi adalah masyarakat perkotaan pengguna kendaraan pribadi roda empat, kebijakan tak terkoordinasi antarlembaga karena tujuan jangka pendek segera mendapatkan pemasukan berupa pajak atau devisa.

Kebijakan fiskal, misalnya, tidak merangsang fiskal bagi investasi bahan bakar alternatif. Situasi ini semakin tidak menarik bagi investor karena subsidi BBM mendistorsi harga sehingga harga energi alternatif tidak dapat bersaing. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat kebijakan penghematan BBM, tetapi Kementerian Perindustrian justru mendorong produksi dan penjualan kendaraan bermotor.

Ketahanan energi

Beban subsidi BBM menjadi salah satu ujung persoalan BBM nasional. Pada intinya, Indonesia harus membangun ketahanan energi. Namun, hal ini belum pernah benar-benar direncanakan, apalagi dilaksanakan. Banyak rencana dibuat, terutama setelah era reformasi saat produksi minyak bumi nasional memasuki tahap penurunan tajam setelah mencapai puncaknya tahun 1995. Puncak tertinggi produksi minyak bumi juga pernah terjadi pada 1977.

Krisis energi saat ini disebabkan Indonesia tak memiliki kebijakan pengelolaan energi strategis komprehensif. Perencanaan jangka panjang tidak memadai dan tidak dapat dilaksanakan, sering berubah-ubah, kebijakan antarlembaga pemerintah bertumpang tindih, dan koordinasinya lemah.

Pengelolaan hasil migas yang berorientasi jangka pendek untuk memenuhi APBN membuat tidak ada alokasi dana untuk pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi baru.

Membandingkan dengan Malaysia, misalnya, tampak tidak ada rencana jangka panjang dan konsisten serta tidak ada orientasi pertumbuhan jangka panjang. Kurang dari 10 persen keuntungan Pertamina diinvestasikan kembali, sementara Petronas menginvestasikan kembali 70 persen keuntungan ke perusahaan. Pertamina mengalami kekurangan modal serius karena biaya modal hanya 10 miliar dollar, sementara Petronas mencapai 91 miliar dollar dalam 5-10 tahun. Akibatnya, manajemen Pertamina tidak punya ruang merespons dinamika dan peluang pasar dibandingkan dengan Petronas.

Salah urus

Ke depan, kebutuhan energi nasional akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk, dan naiknya kesejahteraan. Sementara itu, pasokan BBM impor akan semakin terbatas.

Saat ini, Indonesia menjadi negara pengimpor BBM dan minyak bumi, bukan lagi penggerak ekonomi nasional karena sumbangannya tinggal 12 persen dari produk domestik bruto.

Indonesia bukan satu-satunya negara kaya sumber daya alam yang gagal mengelola dan mendistribusikan kekayaan alamnya secara merata, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Kongres Minyak Bumi Dunia pada 2008 secara tegas menyebutkan, penyebab utama kegagalan suatu negara mendapatkan manfaat berkelanjutan dari sumber daya alam adalah karena korupsi, ketidakmampuan mengelola devisa yang didapat dari minyak bumi, dan tidak adanya asas pemerataan dan keadilan.

Kita memiliki pilihan untuk menentukan masa depan kita. Pilihan yang benar haruslah berorientasi pada kemakmuran rakyat banyak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Stranas Bisnis dan HAM, Upaya Pemerintah Lindungi Pekerja dalam Praktik Bisnis

Stranas Bisnis dan HAM, Upaya Pemerintah Lindungi Pekerja dalam Praktik Bisnis

Whats New
Soal Boks Mainan Megatron 'Influencer' Rusak, Ini Penjelasan Bea Cukai dan DHL

Soal Boks Mainan Megatron "Influencer" Rusak, Ini Penjelasan Bea Cukai dan DHL

Whats New
Kredit Bank Jatim Naik 18,7 Persen Sepanjang Kuartal I-2024

Kredit Bank Jatim Naik 18,7 Persen Sepanjang Kuartal I-2024

Whats New
Menteri Trenggono Akui Sulit Cegah Penyelundupan Benih Lobster

Menteri Trenggono Akui Sulit Cegah Penyelundupan Benih Lobster

Whats New
Ormas Bakal Bisa Kelola Izin Tambang, Ini Alasan Bahlil

Ormas Bakal Bisa Kelola Izin Tambang, Ini Alasan Bahlil

Whats New
TRIS Bakal Bagikan Dividen Final, Simak Besarannya

TRIS Bakal Bagikan Dividen Final, Simak Besarannya

Whats New
Kenaikan BI Rate Tak Beri Dampak Langsung ke Industri Fintech Lending

Kenaikan BI Rate Tak Beri Dampak Langsung ke Industri Fintech Lending

Whats New
Menteri Trenggono Ungkap Ada 5 Perusaahan Vietnam yang Tertarik Investasi Benur

Menteri Trenggono Ungkap Ada 5 Perusaahan Vietnam yang Tertarik Investasi Benur

Whats New
Stagwell Tambahkan Leverate Group ke Program Global Affiliate

Stagwell Tambahkan Leverate Group ke Program Global Affiliate

Whats New
Tertahan Sejak 2022, Bea Cukai Akhirnya Serahkan Alat Belajar SLB ke Pihak Sekolah

Tertahan Sejak 2022, Bea Cukai Akhirnya Serahkan Alat Belajar SLB ke Pihak Sekolah

Whats New
BI Beberkan Perbedaan Kondisi Ekonomi Saat Ini dengan Krisis 1998

BI Beberkan Perbedaan Kondisi Ekonomi Saat Ini dengan Krisis 1998

Whats New
Kemenperin: Indeks Kepercayaan Industri April Melambat Jadi 52,30

Kemenperin: Indeks Kepercayaan Industri April Melambat Jadi 52,30

Whats New
Intip 'Modern'-nya Pasar Tradisional Lebak Budi di Lampung, Usai Tawar Menawar Bayarnya Pakai QRIS

Intip "Modern"-nya Pasar Tradisional Lebak Budi di Lampung, Usai Tawar Menawar Bayarnya Pakai QRIS

Whats New
IHSG Ditutup Menguat 119 Poin, Rupiah Masih Lesu

IHSG Ditutup Menguat 119 Poin, Rupiah Masih Lesu

Whats New
Logam Mulia Bisa Jadi Pelindung Aset, Bagaimana Penjelasannya?

Logam Mulia Bisa Jadi Pelindung Aset, Bagaimana Penjelasannya?

BrandzView
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com