Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Faisal Basri: Tujuh Kesalahan Pengelolaan Ekonomi RI

Kompas.com - 30/05/2013, 18:45 WIB
Didik Purwanto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ekonom Faisal Basri menilai ada sejumlah kesalahan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengarahkan perekonomian Indonesia.

Menurut dia, Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa serbuan produk asing. "Negara kita saat ini menjadi santapan produksi asing. Seharusnya pemerintah bisa membalikkan itu dari negara konsumen menjadi negara produsen. Ini memang kesalahan pemerintahan saat ini," kata Faisal saat diskusi bertajuk "Kebangkitan Ekonomi untuk Rakyat Indonesia" di Dharmawangsa Square Jakarta, Kamis (30/5/2013).

Faisal menilai selama pemerintahan Presiden SBY-Boediono ini, posisi Indonesia terus menurun, khususnya dari sisi perekonomiannya. Faisal menganggap ada tujuh hal yang membuktikan perekonomian Indonesia saat ini terus menurun. Pertama, impor Indonesia lebih besar dibanding ekspornya. Kedua, neraca perdagangan terus mengalami defisit, bahkan hal ini disebabkan dari produk makanan.

Ketiga, soal energi juga merosot, terutama impor minyak yang lebih besar, dibanding ekspornya. Hal ini pula yang menyebabkan neraca pembayaran Indonesia juga defisit. Keempat, daya saing sumber daya manusia kita menurun. Menurut laporan Institute for Management Development (IMD), Kamis (30/5/2013), Indonesia berada di posisi 39 dalam daftar World Competitiveness Rankings 2013.

Tahun lalu, peringkat Indonesia berada di urutan ke-42. Meskipun tahun ini naik, peringkat Indonesia masih di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Filipina, misalnya, tepat di atas Indonesia di urutan ke-38. Sementara posisi ketiga negara jiran lainnya sangat jauh, seperti Singapura yang berada di peringkat ke-5, Malaysia 15, dan Thailand 27. "Kalau sudah rapornya merah begini, seharusnya Presiden tidak naik kelas," ujarnya.

Kelima, sumber daya alam kita dijual secara mentah dan tidak ada nilai tambah. Ternyata meski sumber daya alam kita dijual, seperti kakao, kopi, teh, kayu hingga batubara secara mentah, hal tersebut juga tidak menutupi defisit perdagangan negara.

"Tahun lalu saja kita sudah defisit 1,7 miliar dollar AS. Meski sumber daya alam kita dijual segitu banyaknya, masih belum cukup untuk bisa surplus," tambahnya. Keenam, kemudahan dalam berbisnis kita susah karena birokrasi. Indonesia memiliki indeks kemudahan berbisnis di nomor 129 pada tahun 2012, menurun dibandingkan pencapaian pada 2011 yang masih di level ke-126. Sementara Singapura (peringkat 1), Hongkong (2), Thailand (17), Malaysia (18), dan Taiwan (25).

Ketujuh, indeks korupsi besar. Bahkan sejak 1995, indeks korupsi Indonesia terus terpuruk. "Kita di urutan ke-118 pada 2012, hanya lebih baik dari Pakistan (139) dan Banglades (144)," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Lowongan Kerja Perum Damri untuk SMA/SMK, Ini Persyaratan dan Cara Mendaftarnya

Lowongan Kerja Perum Damri untuk SMA/SMK, Ini Persyaratan dan Cara Mendaftarnya

Work Smart
IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Asia, Ada Apa?

IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Asia, Ada Apa?

Whats New
Tak Mau Kejadian Nasabah Lempar Piring Saat Ditagih Kredit Terulang, PNM Kini Fokus Lindungi Karyawannya

Tak Mau Kejadian Nasabah Lempar Piring Saat Ditagih Kredit Terulang, PNM Kini Fokus Lindungi Karyawannya

Whats New
Bertemu Mendag Inggris, Menko Airlangga Bahas Kerja Sama JETCO dan Energi Bersih

Bertemu Mendag Inggris, Menko Airlangga Bahas Kerja Sama JETCO dan Energi Bersih

Whats New
Sepatu Impor Sudah Diterima Pemilik, Siapa yang Tanggung Denda Rp 24,74 Juta?

Sepatu Impor Sudah Diterima Pemilik, Siapa yang Tanggung Denda Rp 24,74 Juta?

Whats New
BI: Biaya Merchant QRIS 0,3 Persen Tidak Boleh Dibebankan ke Konsumen

BI: Biaya Merchant QRIS 0,3 Persen Tidak Boleh Dibebankan ke Konsumen

Whats New
Pemerintahan Baru Bakal Hadapi 'PR' Risiko Impor dan Subsidi Energi

Pemerintahan Baru Bakal Hadapi 'PR' Risiko Impor dan Subsidi Energi

Whats New
Kinerja Baik APBN pada Triwulan I-2024, Pendapatan Bea Cukai Sentuh Rp 69 Triliun

Kinerja Baik APBN pada Triwulan I-2024, Pendapatan Bea Cukai Sentuh Rp 69 Triliun

Whats New
Hadirkan Fitur Menabung Otomatis, Bank Saqu Siapkan Hadiah 50 Motor Honda Scoopy 

Hadirkan Fitur Menabung Otomatis, Bank Saqu Siapkan Hadiah 50 Motor Honda Scoopy 

Whats New
Bahan Pokok Hari Ini 30 April 2024: Harga Daging Ayam Naik, Cabai Merah Keriting Turun

Bahan Pokok Hari Ini 30 April 2024: Harga Daging Ayam Naik, Cabai Merah Keriting Turun

Whats New
Minta Omnibus Law Dicabut, KSPI Sebut 50.000 Buruh Akan Kepung Istana

Minta Omnibus Law Dicabut, KSPI Sebut 50.000 Buruh Akan Kepung Istana

Whats New
Laba Bersih BSI Naik 17 Persen Jadi Rp 1,71 Triliun pada Kuartal I-2024

Laba Bersih BSI Naik 17 Persen Jadi Rp 1,71 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Pertumbuhan Upah Lambat, 29 Persen Pekerja AS Kesulitan Memenuhi Kebutuhan

Pertumbuhan Upah Lambat, 29 Persen Pekerja AS Kesulitan Memenuhi Kebutuhan

Whats New
Strategi BNI di Tengah Tren Kenaikan Suku Bunga dan Inflasi

Strategi BNI di Tengah Tren Kenaikan Suku Bunga dan Inflasi

Whats New
BPS Perkirakan Produksi Beras Surplus, Pengamat Pangan Minta Bulog Serap Gabah Petani

BPS Perkirakan Produksi Beras Surplus, Pengamat Pangan Minta Bulog Serap Gabah Petani

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com