Ketiganya perempuan hebat, tetapi selalu diuji oleh sebagian kecil orang yang mengaku pandai. Entah ini stereotyping, atau soal buruknya metakognisi bangsa. Saya kurang tahu persis.
Mooryati Soedibyo
Sewaktu diterima di program doktoral UI yang pernah saya pimpin, usianya saat itu sudah 75 tahun. Namun, berbeda dengan mahasiswa lain yang datang pakai jins, dia selalu berkebaya. Anda tentu tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkebaya, bukan?
Memang ia tampak sedikit kewalahan "bersaing" dengan rekan kuliahnya yang jauh lebih muda. Akan tetapi, rekan-rekan kuliahnya mengakui, kemajuannya cepat. Dari bahasa jamu ke bahasa strategic management dan science yang banyak aturannya.
Teman-teman belajarnya bersaksi: "Pukul 08.00 malam, kami yang memimpin diskusi. Tetapi pukul 24.00, yang muda mulai ngantuk, Ibu Moor yang memimpin. Dia selalu mengingatkan tugas harus selesai, dan tak boleh asal jadi."
Masalahnya, ia pemilik perusahaan besar, dan usianya sudah lanjut. Ada stereotyping dalam kepala sebagian orang. Sosok seperti ini jarang ada yang mau kuliah sungguhan untuk meraih ilmu. Nyatanya, kalangan berduit lebih senang meraih gelar doktor HC (honoris causa) yang jalurnya cukup ringan.
Akan tetapi, Mooryati tak memilih jalur itu. Ia ingin melatih kesehatan otaknya, mengambil risiko dan lulus 4 tahun kemudian. Hasil penelitiannya menarik perhatian Richard D’aveni (Tuck School-USA), satu dari 50 guru strategi teratas dunia. Belakangan, ia juga sering diminta memaparkan kajian risetnya di Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman.
Meski diuji di bawah guru besar terkemuka Prof Dorodjatun Kuntjoro Jakti, kadang saya masih mendengar ucapan-ucapan miring dari orang-orang yang biasa menggunakan kacamata buram dan lidahnya pahit. Ada saja orang yang mengatakan ia "diluluskan" dengan bantuan, "sekolahnya hanya dua tahun", dan seterusnya. Anehnya, kabar itu justru beredar di kalangan perempuan yang tak mau tahu keteladanan yang ia tunjukkan. Kadang ada juga yang merasa lebih tahu dari apa yang sebenarnya terjadi.
Akan tetapi, ada satu hal yang sulit mereka sangkal. Perempuan yang meraih doktor pada usia 79 tahun ini berhasil mewujudkan usahanya menjadi besar tanpa fasilitas. Perusahaannya juga go public. Padahal, yang menjadi dosennya saja belum tentu bisa melakukan hal itu, bahkan membuat publikasi ilmiah internasional saja tidak. Namun, Bu Moor juga berhasil mengangkat reputasi jamu di pentas dunia.
Dian Sastro
Dia juga mahasiswi saya yang keren. Sewaktu diterima di program S-2 UI, banyak juga yang bertanya: apa benar artis mau bersusah payah belajar lagi di UI?
Anak-anak saya di UI tahu persis bahwa saya memang cenderung bersahabat, tetapi mereka juga tahu sikap saya: "no bargain on process and quality".