Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teliti Bisnis Perberasan, Ini Temuan KPPU

Kompas.com - 25/07/2017, 21:21 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah meneliti praktik permainan dalam industri perberasan sejak lima tahun terakhir. Ketua KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan ada dua temuan terkait kajian tersebut.

"Pertama, industri beras kita dicirikan oleh rantai distribusi yang panjang, dari hulu sampai hilir. Petani jual ke pengepul, penggilingan jual ke pedagang besar, pedagang jual ke agen, agen jual ke retailer sampai ke end user," kata Syarkawi, di Gedung KPPU, Jakarta Pusat, Selasa (25/7/2017).

Jika di tiap rantai distribusi ada margin harganya, maka tingkat harga di end user akan tinggi.

(Baca: Harga Beras Maknyuss dan Cap Ayam Jago Sesuai Mekanisme Pasar)

Kemudian dia menyoroti level pedagang besar atau penggilingan. Dia menengarai, pasar relatif hanya terkonsentrasi pada beberapa pemain besar. Hal inilah yang membuat margin harga di level pihak tengah (pedagang atau penggilingan) menjadi tinggi.

"Hal ini juga yang ujung-ujungnya menyebabkan gap antara harga di tingkat petani dan harga di tingkat konsumen menjadi lebih besar," kata Syarkawi.

Berdasarkan Permendag Nomor 47/2017, harga eceran tertinggi (HET) beras yang ditetapkan sebesar Rp 9.000 per kilogram, sementara harga acuan pembelian di petani sebesar Rp 7.400 per kilogram.

Adapun, harga acuan gabah kering panen pembelian di petani sebesar Rp 3.700 per kilogram, dan harga acuan gabah kering giling di petani sebesar Rp 4.600 per kilogram.

KPPU melihat, beras yang dijual di end user atau konsumen mencapai Rp 10.500 atau di atas harga acuan pemerintah. Selain itu, ada pula perusahaan yang menjual beras seharga Rp 13.700 per kilogram hingga Rp 20.400 per kilogram.

"KPPU akan masuk melakukan penelitian terkait adanya penyalahgunaan posisi di pasar. Kemudian apakah ada praktek kecurangan dalam menentukan biaya produksi yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, ini yang menjadi fokus kami untuk didalami," kata Syarkawi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com