Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Daya Beli Terpuruk, Tetapi Jalan Semakin Macet

Kompas.com - 29/07/2017, 12:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Dalam CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja mengundang Perry Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti. Kami membutuhkan Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan ini.

Seperti pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya Perry mengatakan,  "semakin susah bagi kita tak mau berubah!”

Perry yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya ada di daya beli.

“Sudahlah,” ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.

Lawan-lawan tak kelihatan

Tentu saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya.

Hanya masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu semuanya adalah konvensional.

Taksi konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini tentu bisa menyesatkan.

Sampai kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang usianya sudah mendekati 40 tahun.

Generasi millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar biasa.

Di dunia baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata, tak kelihatan.

Ibarat taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent, pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh para wartawan sekaligus.

Kita hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid. Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu wawancara di kampus MIT.

Di situ Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu teori Disruption itu. Apa alasannya?

“Saya akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti ditirukan Christensen.

“Look,” ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data untuk melihat apa yang tengah  dan yang akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”

Intel selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua orang bingung.

Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com