Petani lainnya, Hamdani AW, menyebutkan hal yang sama. Dia menyebut, berharap dari bibit garam dari India tentu bukan pilihan tepat untuk memproduksi garam saat ini.
“Harga bibit untuk diekstrak menjadi garam itu terlalu mahal yaitu 300.000 rupiah per 50 kilogram. Dulunya hanya 100.000 rupiah,” katanya.
Dia juga meminta Pemerintah Kabupaten Aceh Utara fokus untuk pengembangan garam tradisional. Misalnya, membuat pondok yang kokoh untuk petani garam. Peralatan yang canggih dan seterusnya.
“Ini tidak, diberi memang bantuan, misalnya direhab tetap dengan pondok kayu plus atap rumbia. Itu pun atap rumbianya tipis. Jadi tetap tak tahan lama. Begitu angin kencang, roboh lagi,” ungkap Hamdani.
Dia menyebutkan cerita keringat petani garam tak asin lagi itu sudah menahun diceritakan dari waktu ke waktu di berbagai daerah tanah air.
Sayangnya, belum ada upaya serius untuk menjadikan garam lokal memenuhi distribusi nasional.
“Impor itu bukan solusi. Impor itu hanya menguntungkan pedagang besar saja,” sebutnya.
Dia berharap Presiden Joko Widodo fokus pada peningkatan produksi garam nasional. Aceh bisa dijadikan salah satu lumbung garam.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Utara, M Jafar menyebutkan dirinya baru enam bulan memimpin dinas itu. Sebelumnya, Jafar memimpin Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh Utara.
“Tahun ini kita buat lokasi pengeringan garam di Bluka Teubai, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Luasnya 1.000 meter. Ini salah satu fokus kita tahun ini,” katanya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.