Namun untuk kepailitian negara, tidak ada lembaga yang bisa memberikan keputusan atau penyelesaian terhadap kepailitian tersebut.
Hal yang sering dilakukan oleh negara-negara default adalah restrukturisasi dikarenakan sangat sulit bagi Kreditor untuk menguasai aset dari suatu atau memaksa suatu negara untuk menjual asetnya dalam rangka pembayaran utang.
Kreditor tidak bisa serta-merta melanggar kedaulatan suatu negara dan melakukan invansi untuk menyita aset dan hal paling memungkinkan adalah menyita aset negara tersebut yang ada di negara lain.
Namun ada beberapa kasus default negara seperti di Mesir, Turki, Chili, di mana kreditor dapat meminta untuk menguasai aset-aset tambang negara terkait sebagai pelunasan dari utang terkait.
Hal-hal tersebut akan sangat bergantung pada kesepakatan negara terkait dengan para kreditornya.
Hal merugikan lainnya adalah memberikan reputasi yang buruk atas kemampuan membayaran suatu negara sehingga menyulitkan suatu negara untuk memperoleh hutang di masa depan.
Di masa lalu default bahkan bisa menyebabkan perang antara negara kreditor dengan negara debitor seperti kasus Inggris yang menyerang Mesir pada tahun 1882 walaupun hal tersebut terjadi sebelum berdirinya PBB.
Apakah Indonesia bisa alami default?
Berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dari UU keuangan negara disebutkan defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari PDB dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PDB.
Menurut data kementerian keuangan saat ini rasio utang terhadap PDB pada tahun 2016 adalah 27,9 persen. (Baca: Sri Mulyani: Kenapa Takut Utang? Harta Kita Banyak)
Menurut ketentuan yang berlaku maka jumlah utang yang diambil oleh Pemerintah Indonesia saat ini secara hukum sah-sah saja karena belum melewati threshold 60 persen tersebut.
Diharapkan dengan adanya threshold tersebut, Indonesia akan dapat menggunakan hasil dari PDB tersebut untuk menutup utang-utang yang jatuh tempo.
Namun Indonesia tetap perlu berhati-hati dalam belanja infrastrukturnya, harus lebih memfokuskan pembangunan infrastruktur yang dapat menggerakan ekonomi dengan cepat, sehingga dapat meningkatkan PDB dengan cepat pula.
Dan, mungkin juga harus mendiversifikasi porsi belanja terbesarnya tidak hanya di infrastruktur tapi juga di bidang-bidang lain yang dapat menggerakan ekonomi lebih cepat.
"Terutama yang dapat meningkatkan ekspor sehingga dapat dengan cepat meningkatkan cadangan devisa negara," pungkas Giovanni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.