Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Berly Martawardaya
Dosen

Dosen Magister Kebijakan & Perencanaan Kebijakan Publik (MPKP) di FEB-UI, Ekonom INDEF dan Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Pertahanan, Geopolitik, dan Energi di Natuna

Kompas.com - 12/08/2017, 15:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

PADA tanggal 20 Mei 2017, Presiden Joko Widodo meninjau Latihan Perang Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna. Latihan tempur itu melibatkan sedikitnya 5.900 prajurit dan berbagai alat utama sistem persenjataan dari angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara.

“Saya sangat bangga sekali melihat Latihan PPRC-TNI, betapa sangat terintegrasi dan terpadunya kerja sama diantara pasukan darat, laut dan udara,” kata Jokowi di Natuna, dikutip dari siaran pers Pusat Penerangan Mabes TNI, Sabtu, 20 Mei 2017.

Latihan PPRC TNI 2017 yang digelar juga dihadiri oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Sekretaris Militer Presiden Marsekal Muda Trisno Hendradi, Komandan Paspampres Mayor Jenderal Suhartono.

Sosial media beberapa hari berdengung dengan foto Presiden Jokowi di depan rudal dan senjata berat bersama tentara di Natuna. Apakah maksud kunjungan dan pemberitaan tersebut?

Kenapa perlu latihan gabungan dan pamer senjata ke kumpulan 272 pulau dengan luas 200 kilometer persegi dan jumlah penduduk tidak sampai 85 ribu orang?

Baca juga: Indonesia Enggan Tanggapi Protes China soal Penamaan Laut Natuna Utara

Kunjungan tersebut tidak bisa dipisahkan dari lokasi Natuna berada di Laut China Selatan yang belakangan ini diklaim sebagian besarnya oleh China dengan sembilan garis terputus (nine-dash-line).

Sekitar 23 gubernur se-Indonesia mengikuti latihan militer dan mencicipi kehidupan tata cara militer dalam rangkaian acara pembaretan dan operasi latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI Tahun 2017 di Pantai Teluk Buton Tanjung Datuk Natuna, Kepulauan Riau, 18-19 Mei 2017.dok. Danrem 143 Haluoleo Kendari Sekitar 23 gubernur se-Indonesia mengikuti latihan militer dan mencicipi kehidupan tata cara militer dalam rangkaian acara pembaretan dan operasi latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI Tahun 2017 di Pantai Teluk Buton Tanjung Datuk Natuna, Kepulauan Riau, 18-19 Mei 2017.
Wilayah negara Malaysia, Brunei dan Filipina terkena dan menjadi permasalahan diplomasi regional sampai sekarang. Walau wilayah teritorial Indonesia tidak terkena, tapi ada bagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut yang terkena klaim China.

Para ahli geopolitik kerap mengutip kalimat berbahasa latin yang berbunyi Si vis pacem, para bellum, yang berarti kalau ingin perdamaian, maka bersiaplah perang.

Kunjungan tersebut adalah pernyataan bahwa pemerintah Indonesia serius menjaga intergritas teritorial dan siap menggunakan angkatan perang serta senjatanya bila diperlukan dari potensial aggresor.

Gas di Natuna

Lapangan gas Natuna Timur telah di ketahui potensinya sejak tahun 1973 alias hampir 45 tahun lalu. Estimasi kandungannya sekitar 46 miliar kubik feet alias blok gas terbesar di dunia yang belum dieksplorasi (untapped gas).

Pada tahun 1995 ditandatangi perjanjian dengan Exxon yang berakhir tahun 2007. Blok Natuna Timur diserahkan pengelolaannya ke Pertamina.

Pada tahun 2010, Pertamina menandatangi perjanjian kerjasama dengan ExxonMobil yang lalu pada tahun 2011 diperluas dengan partisipasi Total dan Petronas. Namun Tahun 2012 posisi Petronas diganti oleh PTT Exploration and Production (PTT EP) yang merupakan BUMN Migas Thailand dan melanjutkan negoisasi dengan Pertamina dan pemerintah Indonesia.

Hambatan yang dihadapi oleh Blok Natuna Timur adalah tingginya kandungan CO2 yang mencapai 70 persen sehingga membutuhkan biaya proses yang lebih tinggi. Dengan harga migas global yang rendah beberapa tahun ini maka tambahan biaya tersebut sulit dijustifikasi dan produknya tidak kompetitif.

Pada pertengahan Juli 2017, Vice President of Public and Governmen Affairs ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto, menyatakan bahwa setelah melakukan review teknologi dan pasar, perusahaannya tidak akan melanjutkan pembahasan eksplorasi di blok gas Natuna Timur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com