Contoh berikutnya adalah beras. Di Kulon Progo, 8.000 pegawai negeri membeli 10 kilogram beras per bulan langsung ke petani. Dinas Pertanian pun mengajari teknik pengemasan kepada petani.
Selain itu, Kulon Progo juga memasok sendiri “beras jatah” untuk masyarakat kurang mampu di wilayahnya.
“Dulu, ‘Pak Bupati, terima kasih berasnya sudah ada lauknya’. Ternyata ada kutunya. Sekarang, sejak 2013, sudah pakai beras daerah (rasda), dengan kualitas jauh lebih baik dari beras sejahtera (rastra),” imbuh Hasto.
Lalu, mulai 2014, Bulog pun tak lagi mengirimkan rastra ke Kulon Progo. Alih-alih, mereka membawa uang untuk membeli beras petani seharga Rp 4,5 miliar per bulan. Dana itu dibayarkan langsung ke petani untuk 4,5 juta kilogram rasda sebagai pengganti rastra di sana.
Ide lain pun terus bergulir di Kulon Progo. Gula kelapa adalah sasaran bidik berikutnya.
“Di Asia, produk yang tak bisa dikarteli adalah gula merah,” ujar Hasto.
Menurut Hasto, pesaing Indonesia untuk gula merah hanyalah Filipina. Itu pun, sebut dia, produk negara tetangga hanya mampu 10 persen Indonesia. Adapun Singapura, Malaysia, dan Thailand bahkan tak punya pohon kelapa—sumber bahan baku gula kelapa.
“Gula merah itu produk sangat sakti kalau mau menusuk pasar Asia. Bukan bawang atau beras. Kita kuasai dulu lah gula merah se-Indonesia, minimalnya,” tegas Hasto.
Sebelumnya, Hasto mengaku sudah berupaya merekayasa bawang merah tetap saja kalah dari Vietnam. Beras pun kalah telak soal distribusi dan harga dengan Vietnam yang bisa mengirim beras ke Balikpapan, Kalimantan Timur.
Vietnam, ujar Hasto, bisa mengirim beras itu dalam waktu 4 jam. Dari Kulon Progo? Butuh 4 hari. Soal harga, Vietnam bisa memberikan Rp 4.000 per kilogram, sementara dari Kulon Progo Rp 4.500 per kilogram.
Bahkan, bahan untuk pembuatan bayi tabung—profesi super spesialisasi yang ditekuni Hasto—pun dibilang kita kalah telak dari Vietnam. Negara tersebut sudah bisa membuat sendiri bayi tabung menggunakan tenaga dan teknologi lokal.
“Kita banyak kendala-kendala lokal. Kita kalah teknologi dan banyak hal. Kalau hari ini tidak membangun berbasis ideologi, kita bisa makin kalah lagi,” ungkap Hasto.
Keprihatinan nasionalisme kita, ujar Hasto, adalah bagaimana mempraktikkan benar ekonomi kerakyatan. Praktik ekonomi kerakyatan.
“Bagaimana bisa sertifikasi organik dan diakui dunia? Atau, kita sertifikasi sendiri dan kuasai pasar dalam negeri, lalu jaim sedikit dengan negara lain,” usul Hasto.
Sederet produk lokal Kulon Progo yang dihasilkan dan dipakai mulai dari Kulon Progo juga terus berentet. Mereka punya minimarket lokal Tomira alias toko milik rakyat, produk batu lokal untuk beragam pemakaian, juga batik yang melejit pemakaiannya hingga 40.000-an yard per bulan dari sebelumnya 2.000-an yard per bulan.
“(Batik), kalau kalah di teknologi, pakai saja tangan, terus ciprat-ciprat dan kasih nama ‘Batik Ciprat’. Kualitas nanti lah, eksis dulu. Kalau tidak punya teknologi dan lain-lain, perkuat dulu ideologi,” lanjut Hasto.