Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agar Gas Industri Murah, Pemerintah Harus Fokus di Tata-Kelola

Kompas.com - 08/09/2017, 11:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen mempertanyakan wacana impor sebagai cara instan pemerintah dalam menekan harga gas bagi pelanggan industri.

Mengutip data Kementerian Perindustrian, Agus menyebut pada 2017 ini kebutuhan industri akan gas bumi mencapai 2.280 million standard cubic feet per day (MMSCFD).

Gas tersebut sebagian besar diserap industri pupuk sebesar 791,22 MMSCFD dan petrokimia sebesar 295 MMSCFD.

“Sementara menurut Kementerian ESDM, produksi gas sampai 4 September 2017 itu sekitar 7.756 MMSCFD. Lalu mengapa harus impor?” ujar Agus dalam seminar "Efisiensi Gas Industri Tanpa Harus Impor" pada Kamis (7/9/2017).

Agus menilai pemerintah seharusnya fokus membedah dan memperbaiki marjin harga gas yang tinggi ketika sampai ke tangan pelanggan karena banyak melalui perusahaan perantara alias trader yang mengambil marjin tinggi.

(Baca: Harga Gas Industri Turun pada Awal 2017)

“Trader gas ini sangat banyak dan punya power sangat besar sehingga sulit ditertibkan. Mudah-mudahan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi melalui pipa bisa cepat selesai, sehingga harga bisa diturunkan,” ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menagih realisasi penurunan harga gas kepada para menteri Kabinet Kerja untuk memangkas ongkos produksi industri di Indonesia.

Sejak menjanjikan penurunan harga gas pada 2014 silam, pemerintahan Jokowi baru bisa menyediakan harga yang murah bagi tiga dari tujuh kelompok industri.

Yaitu industri pupuk, baja, dan petrokimia. Sementara empat kelompok industri lainnya yaitu oleochemical, kaca, keramik, dan sarung tangan karet masih gigit jari.

(Baca: Pemerintah Akan Perbaiki Regulasi Agar Harga Gas Industri Bisa Turun)

Padahal menurut Jokowi, jika pemerintah bisa menyediakan harga gas di bawah US$ 6 per Million British Thermal Units (MMBTU), maka hal tersebut bisa menjadi modal memperkuat industri nasional dan mendorong daya saing produk-produk industri di pasar dunia.

Namun yang terjadi di lapangan, mayoritas industri masih harus menebus bahan bakar produksinya dengan harga 10-11 dollar AS per MMBTU.

Instruksi Jokowi kemudian diterjemahkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dengan memberikan lampu hijau dilakukannya impor gas alam cair (LNG) dari konsorsium Singapura dengan harga 3,8 dollar AS per MMBTU.

Harga tersebut menurutnya jauh lebih murah dibandingkan harus mengangkut LNG dari lapangan gas di kawasan Indonesia Timur.

Wacana kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra mengingat Singapura bukanlah negara produsen gas, ditambah lagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah memperkirakan sampai 2035 mendatang ada 60 kargo LNG produksi lapangan gas di dalam negeri yang belum memiliki pembeli.

Berita ini sudah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Mengkaji Wacana Impor Sebagai Solusi Jangka Pendek Harga Murah Gas Industri" pada Kamis (7/9/2017)

Kompas TV Putusnya jalan nasional akibat tanah longsor, kini mulai mengganggu perekonomian warga. Pasca-tanah longsor akhir pekan lalu, masyarakat di Kecamatan Darma, Kuningan mulai kesulitan memperoleh bahan bakar, dan bahan pokok. Untuk bisa memperoleh gas, banyak warga dan pedagang harus menempuh perjalanan berat. Susahnya transportasi, mengakibatkan harga jual bahan bakar dan bahan pokok melonjak. Harga gas ukuran 3 kilogram, misalnya, kini naik dari Rp 18.000 menjadi Rp 20.000. Warga pun berharap, pemerintah bisa segera memperbaiki jalan yang terputus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com