Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mulia Nasution
Jurnalis

Jurnalis yang pernah bekerja untuk The Jakarta Post, RCTI, Transtv. Pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini, dan praktisi public relations . Kini menekuni problem solving and creative marketing. Ia mudah dijangkau email mulianasution7@gmail.com

Perspektif Komunikasi Konsumen, Saat "Lebah" Berhadapan dengan “Gajah”

Kompas.com - 18/09/2017, 15:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin


Nah, saat konsumen sangat sadar hak-haknya terampas, dan mungkin terbungkam selama ini, ruang perlawanan dapat menyebar seketika. Tombol jari di smartphone lincah menyebar informasi, viral melalui medsos, dan “persepsi buruk” pun lekas terbangun.

“Sadarlah, Anda maupun korporasi Anda tidak akan mampu melawan keroyokan media sosial, media konvensional seperti surat kabar, televisi, apalagi kedigdayaan platform digital. Anda benar sekalipun dapat berubah arah menjadi "pesakitan" di mata publik.

Seharusnya, studi kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang secara tangkas dilakukan oleh Freeport saat terjadi insiden antara anggota DPR Mukhtar Tompo dengan Presdir PT Freeport Indonesia, Chappy Hakim, Februari 2017.

Dalam hati saya menakar, induk manajemen puncak Freeport sudah berhitung, mereka akan rugi besar secara bisnis maupun moral hazard bila terus berkonflik di ruang publik, dan Chappy Hakim hanya sebagai lobang sasaran tembak sementara.

Ending story sudah dapat ditebak, Chappy Hakim mengundurkan diri secara terhormat. Cara Freeport “memadamkan api” sebenarnya langkah sederhana tapi tangkas, jitu, smart, dan “muka” sang marsekal pun terselamatkan. 

Kembali pada studi kasus yang dihadapi Acho dan pengembang, saya selalu berupaya mewanti-wanti klien atau partner agar paham kohesi sosial, kultur masyarakat, psikologi sosial konsumen. Kredo media “bad news is a good news” dapat jadi bumerang bagi korporasi saat menghadapi konsumennya.

Bahwa jagat raya ini borderless world, dan jangan sampai korporasi “teledor” saat menyadari suatu ancaman sekecil apapun awalnya.

Dalam beberapa FGD (focus group discussion) sebagai suatu proses pengumpulan informasi suatu masalah tertentu yang spesifik melalui diskusi kelompok, saya pernah mengemukakan pendapat.

Bahwa organisasi korporasi, apalagi yang berambisi “menjajah” lewat cara kapitalisme brutal, harus cermat berhitung soal mendapatkan untung besar dalam waktu seringkas-ringkasnya.

Awas, bila Anda abai terhadap konsumen yang mungkin dulu awalnya takluk oleh bujuk rayu sangat mesra, dan iklan berhalaman-halaman di surat kabar maupun campaign di televisi, sebuah jebakan di luar logika nalar akal manusia dapat meruntuhkan kedigdayaan.

Jebakannya bisa dari kemunculan masalah yang tidak ada dalam framing manajemen, atau bahkan di luar textbook.

Memang, dalam studi pemasaran, letak seonggok properti, yang selalu diajarkan mentor-mentor saya di PSP bahwa: lokasi, lokasi, lokasi, sangat menentukan aura kesuksesan sebuah project—apakah mal, apartemen, atau landed house.

Namun, sesungguhnya banyak syarat penunjang lainnya agar benar-benar project sukses dan selamat lahir-batin, termasuk dalam hal memperlakukan konsumen sebagai human being.

Sebenarnya, hal lain yang ingin saya katakan, setiap pengembang juga harus paham historical place suatu kawasan yang akan mereka bangun agar terhindar dari masalah demi masalah di kemudian hari.

Sebab bila benar terjadi masalah pastilah menguras sia-sia energi positif. Filosofi: lokasi, lokasi, lokasi, boleh jadi benar, tapi jasad atau fisik lahan dari lokasi itu juga harus bersih, genuine, dan tidak malah menarik aura negatif ke dalam jasad dirinya. 

Kalau bukan lantaran suatu alasan, kenapa pula penganut kepercayaan tertentu harus melakukan ritual saat memindahkan setapak kuburan yang hendak mereka bangun jadi sebuah project baru.

Tentulah banyak alasan, filosofi, kebijaksanaan, pemahaman menyeluruh di belakangnya, dan tidak cukup hanya rasionalitas dalam matematika angka. Om Liem, Om Wiliam, Pak Ciputra, dan sejumlah konglomerat lain bahkan mendatangkan ahli hong shui dari negeri timur jauh untuk memastikan lokasi yang akan mereka bangun, benar-benar prospektif dan bawa hoki.

Pak Chairul Tanjung juga menerapkan filosofi angka yang secara logika terasa ganjil, misalnya newsroom Transtv yang berada di lantai 3 kemudian pindah ke lantai 4 tapi ditulis 3A. Di banyak office buiding di Jakarta, lantai 13 itu berganti nomor 14. Tentu ada alasan maupun persepsi yang melatarbelakanginya.

Saatnya pula saya tarik maju ke kisah awal tulisan ini. Saya pun makin paham, orang yang ingin saya temui, dan “cedera janji” saya temui walau ia memakai senjata “maaf”, mungkin menganggap dirinya superioritas di hadapan pihak lain. Bisa jadi corporate good governance belum berjalan seharusnya di sana. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com