Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Biaya Top Up Uang Elektronik Membuat Penggunanya Kecewa

Kompas.com - 18/09/2017, 16:35 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pengenaan biaya isi ulang (top up) uang elektronik memperoleh banyak pandangan, baik pro maupun kontra.

Di satu sisi, penggunaan uang elektronik dapat mewujudkan cashless society, namun pengenaan biaya isi ulang memberatkan konsumen.

Hal ini dikeluhkan oleh seorang warga yang setiap hari menumpang sarana transportasi publik.

Faizal, seorang mahasiswa sebuah universitas di kawasan Depok, Jawa Barat, setiap hari menggunakan kereta rel listrik (KRL) Commuterline Jabodetabek dan Transjakarta untuk beraktivitas.

(Baca: YLKI: Biaya Top Up Uang Elektronik Tidak Fair untuk Konsumen)

Ia membayar tiket transportasi publik dengan menggunakan uang elektronik. Selain itu, uang elektronik juga cukup sering digunakannya untuk melakukan pembayaran di gerbang tol.

Dalam pengisian ulang saldo uang elektronik, ia mengisi sekaligus sebulan sekali dalam jumlah yang cukup signifikan. Tentu saja hal ini untuk menunjang mobilitasnya yang tinggi.

Menurut Faizal, penggunaan uang elektronik cukup membantunya dalam transaksi pembayaran. Sebagai pengguna sarana transportasi publik, tentu melakukan pembayaran dengan uang elektronik lebih cepat dan praktis.

Meskipun demikian, terkait rencana pengenaan biaya isi ulang saldo uang elektronik, Faisal mengaku menyayangkan.

(Baca: Siap-siap, "Top Up" Uang Elektronik Bakal Kena Biaya)

"Jika setiap top up dikenakan biaya tentu keberatan. Di tengah aturan dan kampanye untuk penggunaan nontunai, biaya ini hanya sebagai insentif bagi bank. Lalu, insentif untuk konsumen apa?" ujar Faizal kepada Kompas.com, Senin (18/9/2017).

Faisal menuturkan, dirinya menyoroti alasan bank mengenakan biaya untuk topup, termasuk di dalamnya adalah biaya untuk operasional dan perawatan infratsruktur uang elektronik.

Ia pun meminta kepada otoritas untuk memikirkan insentif lain tanpa perlu membebankan konsumen.

"BI (Bank Indonesia) sebagai otoritas bisa memberikan insentif bentuk lain bagi perbankan, tanpa perlu membebankan biaya ke konsumen," ungkap Faizal.

Pay (26), pegawai swasta yang berkantor di kawasan Senayan, Jakarta. Dia menggunakan uang elektronik untuk keperluan menumpang kereta rel listrik (KRL) maupun bus TransJakarta.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com