Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Palupi Annisa Auliani
Tukang Ketik

Pekerja media. Dari cetak, sedang belajar online dan digital, sambil icip-icip pelajaran komunikasi politik di Universitas Paramadina.

Sindiran Jokowi buat IPB dan Paradoks Pertanian Indonesia

Kompas.com - 18/09/2017, 17:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin


INSTITUT Pleksibel Banget.
Gara-gara Presiden Joko Widodo, pelesetan nama untuk Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mencuat kembali di ingatan.

Tempat kerja lulusan IPB jadi dasar yang sama, baik untuk sindiran Jokowi maupun pelesetan nama tersebut.

"Maaf Pak Rektor. Tapi mahasiswa (lulusan) IPB banyak yang kerja di bank," kata Jokowi, saat berpidato dalam peringatan ulang tahun ke-54 kampus itu, Rabu (6/9/2017).

Sudah banyak jadi omongan—setidaknya di generasi 1990-an—rata-rata lulusan IPB adalah pekerja yang rajin, tekun, bisa masuk ke bidang kerja apa saja dengan performa menyenangkan. Sayangnya, bidang pertanian justru dianggap jadi perkecualiannya.

(Baca juga: Jokowi Sindir Lulusan IPB Banyak Kerja di Bank, Jadi Petani Siapa?)

Nah, karena Presiden sudah angkat bicara tentang itu, pengecekan resmi pun rasanya jadi perlu dilakukan. Masak data Presiden dianggap sekelas sama rumor apalagi hoaks?

Slightly (sebaran profesi lulusan IPB) berubah. Bidang pertanian—dalam arti luas—meningkat, ke perbankan menurun,” ujar Direktur Pengembangan Karier dan Hubungan Alumni (PKHA) IPB, Syarifah Iis Aisyah, lewat layanan pesan, soal sebaran profesi lulusan kampusnya itu, Senin (11/9/2017).

Iis pun membagikan data lebih rinci. Persentase alumnus IPB yang bekerja di sektor perbankan dan asuransi, sebut dia, per Mei 2017 tercatat 17,85 persen. Adapun di bidang pertanian secara luas, lanjut dia, persentasenya mencapai 26,44 persen.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Sebaran Profesi Lulusan IPB

Hingga Mei 2017, kata Iis, IPB telah meluluskan 143.610 orang, baik dari S1, S2, maupun S3. Rincian sebaran profesi alumnus IPB dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Data Rinci Sebaran Profesi Lulusan IPB

Menurut Iis, IPB juga melakukan pengecekan berkala untuk data sebaran profesi para lulusannya.

Tracer study (TS) kami lakukan setiap tahun untuk alumni yang lulus 1 tahun yang lalu, dan TS ulangan untuk yang sudah lulus 5 tahun yang lalu,” ujar Iis.

Tantangan sesungguhnya

Nah, mungkin lulusan IPB memang tak ada yang bekerja lagi jadi petani, kalau konteksnya kembali macul di sawah dalam cara semanual-manualnya seperti gambaran simplifikasi soal petani di desa.

Meski begitu, bukan berarti lulusan IPB tak banyak yang berkecimpung di bidang pertanian dan atau yang berkaitan dengannya. Setidaknya, ini merujuk data dari Direktorat PKHA IPB di atas.

Beragam respons bermunculan sesudah Presiden Jokowi menyindir lulusan IPB lebih banyak kerja di perbankan daripada jadi petani. Ada yang tertawa saja, ada pula yang tidak terima. Wajar.

Namun, bagi  ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bustanul Arifin, ada persoalan yang lebih mendasar kalau bicara soal pertanian. Praktisi, pengamat, pengajar, dan alumnus IPB ini berpendapat, masalah keberpihakan, kebijakan, dan strategi nasional soal pertanian seharusnya lebih jadi perhatian.

Karakter pertumbuhan ekonomi saat ini, ungkap Bustanul, masih masuk kategori kualitas rendah. Dominasi sektor non-tradable semakin dominan. Sebaliknya, kinerja sektor tradable seperti pertanian dan manufaktur tak cukup bagus untuk menyerap tenaga kerja dan kreativitas pekerja.

Petani-petani tengah membajak sawah di daerah Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (19/8/2017). Rengasdengklok dikenal sebagai salah satu penghasil beras di Pulau Jawa sejak jaman penjajahan Belanda.KOMPAS.com / WAHYU ADITYO PRODJO Petani-petani tengah membajak sawah di daerah Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (19/8/2017). Rengasdengklok dikenal sebagai salah satu penghasil beras di Pulau Jawa sejak jaman penjajahan Belanda.

Kepemilikan lahan pun, sebut Bustanul, makin tak setara, bahkan memburuk. Dia menyebutkan, petani dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar, meningkat hingga 56 persen pada saat ini.

Sudah begitu, akses ke sentra produksi pun relatif terbatas, sekalipun pemerintah sekarang sedang gencar membangun infrastruktur. Sejumlah kebijakan pemerintah di sektor pertanian, imbuh Bustanul, juga tak efektif. 

“Contoh, soal subsidi. Sekitar 65 persen petani miskin hanya menerima 3 persen subsidi pupuk, sementara 1 persen petani kaya menerima 70 persen subsidi pupuk, bahkan 5 persen petani kaya menerima 90 persen subsidi pupuk,” papar Bustanul.

Soal keberpihakan dan kebijakan juga dapat ditengok dari paradoks—sebutan Bustanul—impor beras. Dia menyebut, data hasil panen padi seharusnya mendatangkan surplus beras nasional. 

Praktiknya, masih ada impor beras, yang itu jumlahnya juga besar. Sudah begitu, harga beras juga cenderung masih naik dari waktu ke waktu. 

Bustanul pun menegaskan perlunya campur tangan teknologi di sektor pertanian. Bicara masa depan, kata dia, tak akan pernah bisa lepas dari tantangan teknologi ini. 

“Setidaknya, harus ada upaya peningkatan teknologi (di bidang pertanian),” kata Bustanul saat dihubungi melalui telepon, Senin.

Bentuknya, sebut Bustanul, bisa bermacam-macam, mulai dari penyediaan bibit unggul, mekanisasi, sampai ke teknologi-teknologi lain yang bisa diadopsi untuk pertanian.

Pekerja memanen sayuran selada di lahan pertanian hidroponik milik PT Hidroponik Agrofarm Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (4/8/2017). Sebagian pelaku usaha pertanian setempat menggunakan metode pertanian hidroponik (media tanam air) karena biaya operasional hariannya lebih efisien sekitar 80 persen, produktivitas hampir dua kali lipat, dan dengan harga jual hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan pertanian konvensional dengan media tanah.ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA Pekerja memanen sayuran selada di lahan pertanian hidroponik milik PT Hidroponik Agrofarm Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (4/8/2017). Sebagian pelaku usaha pertanian setempat menggunakan metode pertanian hidroponik (media tanam air) karena biaya operasional hariannya lebih efisien sekitar 80 persen, produktivitas hampir dua kali lipat, dan dengan harga jual hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan pertanian konvensional dengan media tanah.

Yang tak kalah penting, lanjut Bustanul, adalah soal komunikasi dari peneliti agar hasil penelitiannya sampai ke petani dan dapat digunakan. Sebaran profesi para sarjana—termasuk dari kampus dan fakultas terkait pertanian—mendapatkan relevansi sekaligus tantangan.

“Harus ada yang menghubungkan (antara dunia penelitian dan praktik). Siapa yang menyampaikan (kalau bukan mereka)?” kata dia.

Menurut Bustanul, dalam 5 tahun terakhir apatisme lulusan kampus—termasuk IPB—yang tak mau berkecimpung di bidang pertanian sudah mulai susut. Namun, ujar dia, ada pergeseran peran yang lebih besar ke ranah kreativitas dan inovasi.

“Kalau bahasa saya, (mereka menjadi) integrator. Mereka bisa menjadi penghubung kepada petani sampai ke trading, bahkan retail,” ungkap Bustanul.

Berani punya peran untuk memajukan pertanian sekalipun tak lagi berlumpur-lumpur di sawah?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com