Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Terus Dicari Formulasi Pajak Transportasi Daring

Kompas.com - 22/09/2017, 14:44 WIB
Josephus Primus

Penulis

KOMPAS.com - Sampai saat ini, masih terus dicari formulasi pajak untuk transportasi dalam jaringan (daring). Catatan mengenai hal ini berasal dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Adalah Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama yang mengatakan hal itu sebagaimana siaran pers yang diterima Kompas.com hari ini.

Catatan dari laman Kompas.com menunjukkan sejak Maret 2017, Ditjen Pajak sudah meminta agar transportasi daring, khususnya taksi mendapat pengenaan pajak. Sementara besaran tarifnya akan menyesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang sudah berlaku saat ini. (Baca: Perusahaan Taksi "Online" Akan Dikenai Pajak)

Ihwal pengenaan pajak ini, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) Ateng Aryono juga mengingatkan. Menurutnya, persaingan antara taksi meter dan taksi daring membuat sebagian taksi meter kolaps.  “Dengan matinya sebagian perusahaan taksi resmi yang sudah ada, potensi pajak menjadi hilang," tuturnya.

Ia melanjutkan, jika taksi daring tidak dikenakan pajak, akan ada potensi hilangnya pendapatan negara. "Negara akan mengalami kehilangan potensi pajak," ujarnya.

Pada pihak berikutnya, dosen Universitas Atma Jaya Ahmad Iskandar berpandangan pengenaan pajak terhadap taksi daring bisa dilakukan. Pengenaan itu bisa dilakukan segera. "Kan Ditjen Pajak terus mengejar pemasukan negara melalui pajak," katanya.

Revisi Peraturan Menteri Perhubungan No 26/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek hingga saat ini masih berproses. Banyak pihak menunggu peraturan baru yang dinilai lebih adil dan berimbang.

Warta sebelumnya menunjukkan Mahamah Agung telah membatalkan beberapa pasal dalam Permenhub no. 26/2017 karena gugatan yang diajukan oleh enam pengemudi taksi daring. Alasan penggugat, permenhub dimaksud bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan juga dianggap tidak demokratis karena tidak melibatkan banyak pihak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com