Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Wahai Ditjen Pajak, Begini Tips Memata-matai Orang Kaya Kekinian

Kompas.com - 25/09/2017, 06:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Sekedar contoh, jika aspirasi kebanyakan orang di negara berkembang lebih banyak terkait dengan isu seputar ekonomi dan kesejahteraan, orang berduit punya isu lain. Mereka kerap menyuarakan isu tidak bersentuhan dengan urusan perut dan dapur.

Ya, mereka punya utopia sendiri terkait bagaimana seharusnya masyarakat yang ideal itu.

Punya Smartphone Pertanda Kaya?

Buku The Sum of Small Things: A Theory of the Aspirational Class, setidaknya memang ada benarnya. Bahwa, orang berduit di era kekinian tidak selalu identik dengan barang-barang mewah. Justru, mereka lebih memilih menjadikan diri sendiri lebih baik, lebih sehat, lebih bahagia, tanpa harus memamerkan kekayaan ke orang lain.

Sebaliknya, mereka yang pendapatannya pas-pasan-lah, yang terobsesi dengan conspicuous consumption. Tak hanya fesyen, namun juga gawai. Celakanya, barang-barang tersebut kebanyakan diperoleh melalui utang.

Seorang kawan yang bekerja di perusahaan fintech bercerita, betapa kuota kredit tanpa agunan (KTA) dengan bunga tinggi sudah habis karena banyaknya nasabah yang mengajukan permintaan pinjaman. Fasilitas tersebut digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi, seperti halnya gawai dan lainnya.

Para nasabah tersebut ingin mengikuti tren gawai dengan membeli produk-produk teranyar melalui utang. Akibatnya, tidak sedikit dari debitur KTA tersebut yang kesehatan finansialnya menjadi bermasalah.

Sementara itu, Director of Marketing and Communication PT Erajaya Swasembada, Djatmiko Wardoyo saat berbincang dengan saya menceritakan tren penjualan smartphone di perusahaannya.

Menurut Djatmiko, dari seluruh penjualan smartphone yang dibukukan perusahaan, 40 persen konsumen membayar secara tunai dan 60 persen menggunakan kartu kredit.

Nah, dari 60 persen konsumen yang membayar dengan kartu kredit, hanya 20 persen yang melunasinya secara langsung (reguler) dan sisanya 80 persen membayar dengan cara mencicil. Pola pembayaran ini berlaku di seluruh jenis smartphone. Mulai dari yang kelas rendahan hingga smartphone yang highend.

Tidak bermaksud melakukan generalisasi terhadap pemilik smartphone, namun yang jelas tak bisa menilai naiknya kekayaan atau aset seseorang dari kepemilikan smartphone. Barang tersebut tidak serta-merta mencerminkan peningkatan pendapatan.

Alih-alih pertanda kenaikan aset, smartphone baru justru bisa menjadi indikator naiknya utang yang ditanggung seseorang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com