Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berinovasi dan Keluar dari “Middle Income Trap”

Kompas.com - 27/09/2017, 15:57 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Jebakan kelas menengah (middle income trap) masih membayangi negara-negara berkembang. Kondisi ini membuat ekonomi negara tersebut stagnan dan tidak bisa melaju ke tahap selanjutnya yaitu menjadi negara maju.

Ekonom INDEF Berly Martawardaya menilai, inovasi menjadi hal yang penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga mampu lepas dari jebakan kelas menengah. Hal itu sudah dibuktikan oleh beberapa negara seperti Korea Selatan dan Taiwan.

“Ada regulasi yang belum sepenuhnya mendukung (inovasi), level pendidikan yang masih rendah, serta anggaran riset yang relatif kecil,” ujarnya dalam siaran pers, Jakarta. Senin (27/9/2017).

Berdasarkan Global Innovation Index 2017, peringkat inovasi Indonesia berada di posisi 87 dari total 127 negara.

(Baca: Khawatir Kebijakan Pemerintah, Kelas Menengah Rem Belanja)

 

Posisi ini hanya naik satu peringkat dibandingkan posisi tahun 2016. Dibandingkan negara-negara di ASEAN, Global Innovation Index Indonesia juga tertinggal.

Malaysia misalnya, berada di posisi 37 sedangkan Vietnam berada di posisi 47.

Pentingnya Paten

Berly menyoroti faktor regulasi terutama lemahnya aturan terkait paten. Saat ini kata dia, ranking Indonesia dalam jumlah paten terdaftar berada diurutan ke 103 dari 127 negara.

Hal itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kontribusi yang minim terhadap inovasi di dunia.

Padahal berdasarkan penelitian Indef, setiap 1 persen kenaikan jumlah paten yang terdaftar berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,06 persen.

Artinya kata Berly, bila jumlah paten bisa naik 10 persen, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih tinggi 0,6 persen.

Angka ini dinilai cukup besar sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di angka 5,01 persen.

Selain itu, adanya aturan yang mewajibkan pemegang paten melakukan produksi di dalam negeri juga dinilai kurang kondusif. Sebab berpotensi membatasi pemegang paten lokal untuk melakukan ekspansi secara global.

Bahkan, aturan itu juga dinilai berpotensi membuat biaya produksi perusahaan terutama farmasi dan teknologi, membengkak sehingga enggan menjual produknya di Indonesia. Padahal produk kedua sektor itu penting bagi kesehatan dan supply chain industri.

Belanja Riset Minim

Hal kritis lainnya yang dinilai perlu dibenahi adalah minimnya belanja litbang atau riset. Saat itu ucap Berly, belanja riset Indonesia hanya sebesar 0,2 persen terhadap PDB selama dua tahun terakhir.

Sementara itu negara lain di ASEAN seperti Singapura dan Thailand sudah diatas 2,5 persen. Berly memahami pemerintah memiliki keterbatasan dari sisi anggaran. Oleh karena itu, peran swasta untuk mengambangkan riset perlu lebih banyak dilibatkan.

“Swasta bisa berkontribusi apabila ekosistem riset termasuk kebijakan inovasi, khususnya berkaitan dengan paten mendukung.” kata Berly.

Berkaca dari Negara Lain

Beberapa negara telah membuktikan mampu menjadi negara maju dengan mengandalkan inovasi, termasuk mendorong pertumbuhan paten.

Jepang dan Korea Selatan misalnya, mendorong inovasi dan pertumbuhan paten dengan memberikan berbagai insentif.

Insentif untuk mendorong inovasi bisa berupa pemotongan pajak pada perusahaan yang inovatif baik melalui tax allowance, tax deduction on reserch expenditure, dan tax holiday.

Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan skema insentif non-fiskal termasuk mempermudah prosedur dan biaya pendaftaran paten.

“Prosedur paten perlu dipermudah dan dipercepat. Jika proses pengajuan paten masih lama dan mahal maka perusahaan di sektor hi-tech akan berfikir sekian kali sebelum investasi di Indonesia” ucap Berly.

Kompas TV Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Bawah Harapan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com