Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ombudsman dan BI Bahas Polemik Tarif Top Up Uang Elektronik

Kompas.com - 27/09/2017, 16:19 WIB
Pramdia Arhando Julianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menggelar pertemuan dengan Bank Indonesia (BI) membahas kebijakan BI terkait tarif isi ulang (top up fee) uang elektronik yang mengundang polemik.

Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Bank Indonesia tidak hadir dan diwakili oleh beberapa pejabat BI.

Diantaranya yakni Direktur Eksekutif Pusat Program Transormasi BI, Ari Bowo, Direktur Departemen Pengawasan dan Kebijakan Sistem Pembayaran BI Pungky Purnomo Wibowo, dan Direktur Department Komunikasi BI, Arbonas Hutabarat.

Direktur Departemen Pengawasan dan Kebijakan Sistem Pembayaran BI Pungky Purnomo Wibowo usai pertemuan tak banyak berkomentar kepada awak media.

(Baca: Inilah Biaya-biaya yang Perlu Diwaspadai bila Memakai Uang Elektronik)

 

Menurutnya, kebijakan tarif isi ulang uang elektronik adalah untuk kepentingan konsumen itu sendiri.

"Apa yang dilakukan BI dengan mengedepankan konsumen, kami akan mencari solusi yang terbaik," ujar Pungky di Gedung Ombudsman, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2017).

Pungky mengatakan, pihaknya bersama dengan Ombudsman akan memberikan hasil terkait pertemuan saat ini kepada publik terkait polemik tarif isi ulang uang elektronik.

"Nanti kita lihat," singkatnya.

Sementara itu, Anggota Ombudsman, Dadan Suparjo Suharmawijaya yang menjadi pimpinan dalam pertemuan tersebut mengatakan, pertemuan dengan BI adalah penyampaian klarifikasi dari BI sebagai pihak terlapor.

"Kami identifikasi beberapa isu terkait landasan atau payung hukum atas kebijakan ini (biaya isi ulang). Latar belakangnya apa sehingga kebijakan tersebut keluar," ungkap Dadan.

Sebelumnya, pengacara David Tobing melayangkan laporan ke Ombudsman Republik Indonesia terkait dengan rencana BI mengenakan biaya pengisian ulang atau top up uang elektronik.

Menurut David dalam permohonannya kepada Ombudsman, Senin (18/9/2017), rencana pengenaan biaya top up sekira Rp 1.500 hingga Rp 2.000 diduga merupakan bentuk maladministrasi.

David memandang, ini adalah bentuk keberpihakan pada pengusaha dan pelanggaran hukum dan perundang-undangan.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com