BJ HABIBIE. “Dengan pesawat ini, buatan mereka sendiri, seluruh pulau di Indonesia bisa terhubung. Bayangkan infrastruktur yang berkembang, kemajuan ekonomi di pulau-pulau itu. Mereka bisa mandiri. Tapi ternyata bangsa ini tidak mau.”
Kutipan di atas muncul dalam salah satu adegan film Habibie dan Ainun yang tayang pada 2012. Diperankan Reza Rahardian, Habibie terlihat mendatangi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), perusahaan yang sekarang sudah berganti nama jadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Momentum dalam adegan tersebut terjadi setelah pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Indonesia ditolak MPR pada 20 Oktober 1999. Di situ, Habibie menyambangi pesawat N-250. Kutipan di atas dia ucapkan setelah mengusap debu yang ada di permukaan pesawat tersebut.
(Baca juga: Habibie: Kalau Saya Bisa Produksi N 250 atau R 80 Tiap Hari...)
Ketika Kompas.com sempat bertemu Habibie pada 2013, kesan yang sama masih terpancar saat bicara pesawat. Menurut Habibie, momentum N-250 seharusnya sangat tepat untuk titik tolak kejayaan industri dirgantara Indonesia, andai proyek pesawat itu berjalan sesuai rencana.
Visi, tegas Habibie, yang semestinya menuntun arah langkah bangsa ini. Dia menolak menggunakan kata “mimpi”, karena buat dia diksi itu identik dengan angan-angan. Namun, nasi telah menjadi bubur.
Pesawat N-250, ujar dia, sudah kehilangan momentum. Pasar pesawat berpenumpang sampai 60-an orang sudah banyak pesaing dan atau tak lagi ekonomis. Bila hendak kembali berjaya di industri dirgantara, kata dia, Indonesia harus membangun pesawat berkapasitas 80-90 orang.
Visi dirgantara
Indonesia sejatinya punya sejarah panjang industri dirgantara. Orang pertama yang layak disebut sebagai “tukang pesawat” Indonesia adalah Nurtanio Pringgoadisuryo. Bersama Wiweko Soepono, dia “mendaur ulang” dan merakit pesawat Zogling NWG (Nurtanio-Wiweko-Glider) pada 1947.
Dari tangan Nurtanio dan teman-temannya itu, lahir juga pesawat tempur NU-200 dengan julukan Sikumbang, dibuat pada 1953 dan uji terbang pada 1 Agustus 1954. Menyusul kemudian sejumlah pesawat lain yang diberi nama-nama Indonesia, seperti Kunang-kunang dan Gelatik.
Nurtanio adalah nama sekaligus sebutan yang lekat dengan industri pesawat yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, selama berdekade-dekade, sekalipun singkatannya sudah IPTN. Simbol “N” pada nama produk-produk keluaran IPTN dan PT DI juga merujuk pada nama Nurtanio, penggila pesawat kelahiran Semarang, Jawa Tengah pada 1923.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.