“(Semangat patungan ini untuk) angkat heroisme, gotong royong, dan ini kesempatan baik untuk gotong royong. Untuk jangka panjang juga,” kata Co-Founder dan CEO Kitabisa.com Alfatih Timur, lewat pembicaraan telepon dengan Kompas.com pada akhir Agustus 2017.
Target awal penggalangan dana ini adalah Rp 5 miliar. Angka itu memang jauh dari kebutuhan pembuatan prototipe pesawat R80 yang diperkirakan mencapai Rp 200 miliar. Total kebutuhan dana untuk skala industri bahkan Rp 20 triliun.
(Baca juga: BJ Habibie Ajak Masyarakat Sumbang Dana untuk Pengembangan Pesawat R80)
Namun, kata Alfatih, nominal Rp 5 miliar sudah besar untuk sebuah penggalangan dana publik (crowdfunding) di Indonesia.
“Apalagi selama ini jarang ya ada crowdfunding untuk produk dan inovasi. Yang sering kemanusiaan, itu pun yang paling besar sekitar Rp 4 miliar,” ujar Alfatih.
Sebagai bagian dari kebanggaan yang ingin dibangun bersama atas pesawat R80, para pendonor berpeluang mendapat reward. Dengan nominal donasi terkecil Rp 100.000, misalnya, pendonor bisa memasang fotonya di badan prototipe pesawat tersebut.
Bagi Habibie, patungan untuk proyek R80 juga punya arti penting. “(Ini akan) menunjukkan pada dunia, bahwa rakyat Indonesia commited, meski hanya 50.000 (orang yang memberi donasi),” kata dia.
Bila proyek pesawat R80 terwujud dan pesawatnya sudah mengudara, kata Habibie, apa saja bakal bisa dibuat oleh anak-anak negeri ini. Habibie menegaskan, mendesaknya proyek R80 adalah terkait ancaman habisnya sumber daya manusia Indonesia yang punya kemampuan merancang dan membuat pesawat.
(Baca juga bagian II tulisan serial ini: Habibie dan Jejak Pesawat Buatan Indonesia)
Deputi Direktur Keuangan Urusan Pendanaan PT RAI Desra Firza Ghazfan pun saat berbincang dengan Kompas.com secara eksplisit menyitir perspektif Habibie tersebut.
“Modal utamanya industri dirgantara bukan uang atau teknologi, tapi orang,” tegas Desra.
Desra memberikan contoh, negara seperti Singapura yang tak diragukan soal nominal uangnya pun paling banter hanya bisa membangun bengkel pesawat. Visi Malaysia dengan cetak biru kedirgantaraan 2030 pun diragukan bisa terwujud, kecuali meminjam orang-orang dari Indonesia bahkan bila perlu program R80.
“Kalau mau juarai industri dirgantara, harus ada program, harus punya pesawat (buatan sendiri). Kalau tidak, ya jadi kuli saja,” ujar Desra.
Tepatnya, kabar baik itu tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Lebih tepat lagi, proyek pesawat R80 tertera dalam lampiran peraturan tersebut.
Di luar soal porsi tanggung jawab pemerintah tersebut, apakah Anda bagian dari orang-orang yang terpanggil oleh ajakan Habibie dan para generasi dirgantara? Bisakah setidaknya sekali lagi kita tunjukkan pada dunia, bahwa anak-anak bangsa Indonesia bisa bahu-membahu mewujudkan karya anak negeri sendiri?
Lalu, apa hubungan semua cerita ini lagi dengan Patung Dirgantara di simpang Pancoran? Seperti apa pula peluang pasar yang dapat direngkuh dari pesawat R80? Simak jawabannya pada bagian IV atau terakhir dari serial tulisan ini, esok hari.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.