Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Kotak Pandora "Sharing Economy"

Kompas.com - 02/10/2017, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Dalam risetnya, Aulia menemukan fakta eksploitasi terjadi pada pengemudi ojek online yang berafiliasi dengan Go-Jek, Uber, dan Grab. Melalui apa yang ia sebut dengan "gamification of work", pengemudi tak memiliki banyak ruang kendali atas layanan.

Aulia menulis, "Posisi sebagai 'mitra' mengharuskan pengemudi untuk menyediakan alat produksi mereka sendiri (kendaraan) dan menanggung biaya bahan bakar, parkir, perawatan, asuransi kendaraan, dan komunikasi dari saku mereka sendiri. Akibatnya, semakin banyak mereka bekerja, semakin mahal pengeluaran, semakin besar risiko kelelahan dan kecelakaan yang mereka hadapi."

Tentu kasus Uber di London dan temuan Aulia di Indonesia menampar wajah Nadiem Makarim beserta CEO perusahaan platform lainnya. Pasalnya, baru-baru ini Go-Jek dinobatkan sebagai Perusahaan Pengubah Dunia peringkat 17 dari 50 perusahaan versi majalah Fortune (September 2017). Katanya, Go-Jek telah mengangkat tingkat penjualan beragam pelaku UMKM yang berafilisi dengannya.

Pengemudi Go-Jek di Indonesia nampaknya tak selalu bangga dengan capaian itu. Pasalnya, aspirasi konsumen terkait harga murah justru menjadi problematis.

Proses pembentukan harga atas layanan online belum mencerminkan harga pasar yang sesungguhnya. Harga, sesungguhnya merupakan titik temu antara permintaan dengan penawaran. Di mana pada sisi penawaran, seorang pengemudi memasukkan berbagai biaya-biaya (overhead) yang dikeluarkan. Sebutlah bensin per jarak tempuh, asuransi, perawatan kendaraan, biaya komunikasi, dan seterusnya.

Di sisi lain, harga yang ditawarkan Uber dan Go-Jek tentu di bawah harga pasar layanan taksi atau ojek pangkalan. Tentu saja konsumen senang karena harga masih diintervensi oleh platform sebagai bentuk promosi dan upaya pemasaran lainnya.

Seorang pengemudi Go-Jek, misalnya, akan kejar bonus trip daripada uang bensin dari konsumen. Masalahnya, untuk peroleh bonus harian itu, pengemudi harus penuhi target-target, yang dalam bahasa Aulia ia sebut sebagai gamification of work.

Model bisnis itu membuat konsumen benar-benar nampak sebagai raja, alih-alih seorang diktator.

Pengemudi Uber di London menulis, "How can you, as a customer, justify those expensive drinks you had in the bar but not be willing to pay a little extra to get home in the safety of a minicab or black cab?"

Itu menggambarkan bagaimana masyarakat bisa bayar minuman mahal di bar, namun sungkan bayar sedikit lebih mahal untuk taksi konvensional, yang lebih aman, katanya.

Di sana hukum ekonomi bekerja untuk konsumen: mengeluarkan sesedikit mungkin sumber daya untuk sebanyak-banyaknya barang atau jasa. Sayangnya, hal itu tak berlaku bagi pengemudi.

Tirani platform

Hukum ekonomi itu tak bekerja maksimal bagi pengemudi sebab dikangkangi kuasa tirani platform. Perusahaan platform, meskipun idealnya bertugas memoderasi supply dan demand, nyatanya melakukan produksi harga.

Modal panas para venture capital atau angel investor digerojok ke pasar dalam berbagai skema promosi atau marketing gimmick. Gerojokan itu pertama-tama dirasakan oleh konsumen: low price.

Posisi pengemudi dalam kerangka model bisnis seperti itu hanya sebagai mitra. Artinya, ia secara sukarela mengikatkan diri dengan protokol-protokol tertentu yang ditetapkan oleh penyedia platform.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com