Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titip Asa Dirgantara pada Pesawat R80 Habibie (Bagian IV - Terakhir)

Kompas.com - 02/10/2017, 09:18 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


PASAR
. Pada akhirnya, sebuah produk secanggih apa pun akan butuh proyeksi pasar untuk penjualannya agar layak produksi secara keekonomian.

Pesawat R80 yang sekarang sudah mulai digarap, bukan pengecualian. Sejarah perjalanan industri pesawat nasional pun tak lepas dari “terawangan” soal kebutuhan dan akhirnya pasar untuk penjualannya setelah mampu produksi sendiri.

(Baca juga bagian II dari serial tulisan ini: Habibie dan Jejak Pesawat Indonesia)

“Orang-orang kalau berpikir pesawat (Indonesia) itu Pak Habibie, salah. Kita sudah punya pesawat sejak 1948 meski itu pesawat latih,” ungkap Deputi Direktur Keuangan Urusan Pendanaan PT RAI Desra Firza Ghazfan, saat berbincang dengan Kompas.com lewat saluran telepon, akhir Agustus 2017.

Pada 1950-an, lanjut Desra, Soekarno berpandangan bahwa Indonesia sebagai negara maritim harus menguasai teknologi pesawat dan kapal. Beasiswa pun ditebar buat putra-putri terbaik bangsa untuk belajar antara lain ke Eropa, yang salah satu penerimanya adalah BJ Habibie.

Sayangnya, tak semua pelajar ini bisa pulang lagi ke Indonesia gara-gara peristiwa 30 September 1965. Dari sedikit yang bisa pulang adalah BJ Habibie. 

(Baca juga bagian I dari serial tulisan ini: Patung Pancoran, Visi Dirgantara, dan Proyek R80 Habibie)

Ketika pulang ke Tanah Air, lanjut Desra, Habibie tak sekadar ingin membuat pesawat tetapi bikin industri pesawat. Ekosistem pun dirancang, melibatkan semua industri kreatif yang terkait dengan sebuah industri pesawat, laiknya menyusun puzzle.

Seorang anggota TNI AL berdoa di hidung pesawat CN-235 saat akan memulai operasi pencarian pesawat AirAsia QZ8501, di Pangkal Pinang, Pulau Bangka, 30 Desember 2014. Pesawat AirAsia QZ8501 mengangkut 155 penumpang serta 7 kru, jatuh pada Minggu pagi, saat penerbangan dari Surabaya ke Singapura.AP PHOTO / TATAN SYUFLANA Seorang anggota TNI AL berdoa di hidung pesawat CN-235 saat akan memulai operasi pencarian pesawat AirAsia QZ8501, di Pangkal Pinang, Pulau Bangka, 30 Desember 2014. Pesawat AirAsia QZ8501 mengangkut 155 penumpang serta 7 kru, jatuh pada Minggu pagi, saat penerbangan dari Surabaya ke Singapura.

Pada 1976, Indonesia sudah memiliki bengkel pesawat, berbekal lisensi dari CASA. Istilahnya, progressive manufacturing, yaitu untuk menguasai keterampilan membuat pesawat. Memakai pola ini hadir pesawat NC-212, meski baru sebatas perakitan. Pada 1983, barulah muncul produk buatan Indonesia, yang tak cuma merakit, yaitu CN-235.

Sebagai industri penerbangan, Indonesia juga masih terus melayani perakitan dan perawatan jenis-jenis pesawat terbang lain. Sederet helikopter juga melewati Bandung untuk proses perakitannya.

N-250 bisa dibilang sebagai karya monumental terakhir dari binar industri dirgantara nasional, itu pun mangkrak setelah lolos uji terbang karena imbas badai krisis moneter pada 1997-1998. Pupus pula kelanjutan perancangan dan pembuatan pesawat N-2130 begitu pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Indonesia ditolak MPR pada 20 Oktober 1999.

Asa di pesawat R80

Baru pada 2017, ada sedikit kabar baik dengan sudah diuji terbang-nya pesawat N-219, sekalipun ini pesawat yang kapasitasnya bahkan lebih kecil dibandingkan CN-235.

Pesawat N219 buatan PT Dirgantara IndonesiaKOMPAS.com/DENDI RAMDHANI Pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia

Karenanya, BJ Habibie pun menitipkan harapan besar pada keberlanjutan proyek pesawat R80, demi mencegah habisnya generasi dirgantara yang sudah susah payah dididik sejak era 1950-an.

Ide menggelar patungan untuk sebagian pendanaan pesawat R80 pun bagian dari upaya menerawang dunia investasi dan sekaligus pasar.

(Baca juga: BJ Habibie Ajak Masyarakat Sumbang Dana untuk Pengembangan Pesawat R80)

“Kalau kita pergi ke investor, (kemungkinan akan ditanya) apa sih program R80 itu?” tutur Desra.

Desra pun memberikan analogi, investor mana pun tak akan lagi bertanya ketika disebut Boeing yang akan mengeluarkan generasi lanjutan 737. Itu, kata dia, karena produk Boeing sudah langsung dikenali.

Kondisi saat ini, lanjut Desra, 99 persen investor bahkan publik ditengarai tak tahu soal keberadaan proyek pesawat R80. Kalaupun ada yang tahu, ujar dia, opininya belum tentu positif.

Soal penggunaan teknologi baling-baling di pesawat R80, misalnya, menurut Desra ada saja yang mempertanyakannya.

“Orang tak banyak tahu, pesawat dengan teknologi itu yang dibutuhkan Indonesia (dengan kondisi geografisnya),” sebut Desra.


Pesawat jet, papar Desra, butuh temuan baru untuk menyaingi produsen yang sudah ada. Sudah begitu, kompetisinya ketat, mahal pula.

(Baca juga: Mengapa Pesawat Rancangan BJ Habibie R80 Gunakan Mesin Baling-baling?)

Sementara itu, Indonesia adalah negara kepulauan. Kalau di China atau Amerika Serikat, ujar Desra, jarak 200 kilometer merupakan “jatah” moda transportasi mobil, lalu 400 kilometer bagian buat kereta api.

“Di kita, (jarak yang sama) sudah beda pulau atau tidak nyaman kalaupun bisa ditempuh lewat jalan darat,” sebut Desra.

Peluang pasar

Pasar inilah yang dibidik pesawat R80 dengan spesifikasi teknis dan jarak jelajahnya. Rata-rata panjang landasan pacu bandara di daerah-daerah di Indonesia yang tak lebih dari 600 meter, imbuh Desra, juga jadi pertimbangan.

Dari proyeksi yang terpantau, pada 2035 akan ada kebutuhan di dalam negeri untuk spesifikasi pesawat R80 sebanyak 300 unit sampai 400 unit. Desra menambahkan, pesaing jenis pesawat ini kemungkinan hanya dari ATR, pesawat besutan Perancis.

“Ada beberapa produsen lain tapi tak terlalu terkenal. Kebanyakan juga masih pakai teknologi 80-an dengan kapasitas 50-70 penumpang,” tutur Desra.

Persaingan tetap ada untuk pesawat dengan spesifikasi sekelas R80. Menurut Desra, setiap produsen pesawat juga jamak saling intip kompetitornya. Sejauh ini, posisi pesawat R80 masih kompetitif, baik dari teknologi maupun proyeksi pasar.

Miniatur pesawat R80KOMPAS.com/PRAMDIA ARHANDO JULIANTO Miniatur pesawat R80

Desra memberikan contoh, ATR ada rencana membuat pesawat sekelas R80. Namun, Airbus sebagai pemilik sahamnya belum memberikan restu. Perusahaan tersebut masih berniat fokus ke teknologi jet. 

Peluang bisnis R80 juga datang dari fakta bahwa setengah penjualan ATR ternyata ada di pasar Indonesia, sebagai wilayah dengan kebutuhan penerbangan jarak menengah.

Menurut Desra, harga jual juga seharusnya bukan halangan bagi daya saing pesawat R80. Dia mengatakan, di dunia penerbangan ada semacam standardisasi harga dengan pendekatan tonase, untuk menghitung ongkos pembuatan dan pengembangan pesawat.

“Dari segi harga, (R80) harusnya lebih murah dari kompetitor karena teknologinya lebih tinggi, kenyamanan penumpang juga dirancang lebih baik,” ujar Desra.

Desra menambahkan, vendor yang dipakai untuk melengkapi pembangunan pesawat R80 harus dari Indonesia. Kalau pun belum bisa 100 persen menggunakan komponen lokal, sebut dia, ada penjenjangan persentase komponen dalam negeri itu.

“Targetnya, (produk pesawat R80) bisa penuhi pasar Indonesia lalu 60 persen ekspor untuk pasar ASEAN sampai Amerika Serikat,” ujar Desra.

(Baca juga bagian III serial tulisan ini: Dari Dakota Seulawah, Ide Patungan buat Pesawat R80 Habibie)

Hitungan saat ini, sertifikasi prototipe pesawat R80 akan rampung pada 2022, untuk sudah ada pengantaran 10-15 pesawat R80 pemesanan pertama pada 2025.

Seperti dikutip dari situs PT RAI, minat terhadap pesawat R80 juga sudah mulai berdatangan. Per Februari 2017, tercatat ada 155 pemesanan untuk pesawat ini. Rinciannya, 100 unit pesanan dari PT National Aviation Management (NAM), 20 unit dari PT Trigana Air, 25 unit dari PT Kalstars, dan 10 unit dari PT Aviastar.

Biar tak jadi seperti Patung Pancoran

Saat ini kondisi industri dirgantara Indonesia bisa jadi senasib dengan Patung Dirgantara di Pancoran, Jakarta Selatan. Patung ini tak lagi mengesankan sebuah kebanggaan tentang kapasitas kedirgantaraan sebuah bangsa, alih-alih malah terjepit di antara jalan layang, ribuan kendaraan bermotor, dan kemacetan.

KOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi Patung Pancoran

Bahkan, bila rencana jalan tol yang menghubungkan kawasan Pasar Minggu dan Casablanca terwujud, kepala patung ini akan jadi pemandangan di samping jendela kendaraan yang terjebak kemacetan di situ.

Untuk membangkitkan lagi industri dirgantara, tentu tak semudah membalik telapak tangan. Bila hipotesis yang disodorkan Habibie dan Desra memang masuk akal, bisa jadi memang pengenalan publik secara luas tentang proyek pesawat R80 ini bisa jadi harapan baru bagi dunia dirgantara Indonesia.

Kalau Rp 100.000 masih terasa nominal yang terlalu besar buat menyumbang pembuatan pesawat—saat makan saja masih susah, barangkali—boleh saja bila kita mulai dengan menggaungkan lagi semangat sebagai bangsa dengan kemampuan penguasaan teknologi tinggi seperti ini. Sebarkan seluas mungkin.

Kalau bukan mulai dari diri kita sendiri, dari mana perbaikan dan peluang kebaikan akan datang?


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com