Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertanda Perundingan Pemerintah dan Freeport Akan Temui Jalan Buntu

Kompas.com - 02/10/2017, 15:32 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira memandang bocornya surat Presiden and Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan Inc Richard C Adkerson mengindikasikan perundingan pemerintah dengan PT Freeport Indonesia menemui jalan buntu.

Adapun surat yang beredar ke publik itu terkait penolakan Freeport McMoran Inc, perusahaan induk PT Freeport Indonesia, atas skema yang ditawarkan pemerintah untuk divestasi 51 persen saham.

Surat yang terbit 28 September 2017 itu ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto dan ditembuskan juga kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

"Bocornya surat Freeport mengindikasikan bahwa kesepakatan antara Freeport dan Pemerintah terancam menemui deadlock. Terdapat perbedaan yang sangat ekstrem antara keterangan pemerintah dan Freeport," kata Bhima, Senin (2/10/2017).

(Baca: Pemerintah Diminta Tak Turuti Permintaan Freeport )

Perbedaan pertama, terkait besaran nilai divestasi saham.

Menurut Bhima, Freeport menilai pelepasan saham harus didasarkan pada nilai investasi sampai tahun 2041 sesuai Kontrak Karya jilid II.

Artinya, valuasi atau nilai saham yang dilepas ke pemerintah, harganya bisa dua kali lipat lebih mahal.

Permasalahan kedua, Freeport memandang mekanisme pembelian saham ke pemerintah harus dilakukan melalui skema initial public offering (IPO) atau penawaran terbuka.

Hal ini, lanjut dia, akan merugikan pemerintah Indonesia. Menurut Bhima, pembelian saham cukup dilakukan melalui divestasi secara tertutup.

"Kalau mekanismenya IPO di pasar sekunder, maka rentan dipermainkan oleh spekulan, sehingga harga menjadi sangat mahal," kata Bhima.

Risiko lainnya, ketika harga mahal, kapasitas keuangan pemerintah menjadi terbatas. Hal buruk yang dapat terjadi adalah 51 persen saham tersebut justru jatuh ke pihak asing dengan modus pembelian saham melalui tangan swasta nasional.

Permasalahan ketiga, ketika Freeport menuntut agar pengelolaan operasional maupun tata kelola internal harus berada di bawah kendali Freeport bukan pemerintah Indonesia.

Artinya, lanjut dia, rencana divestasi menciptakan kepemilikan semu pemerintah. Hal ini akan memperkuat status quo Freeport.

"Konsekuensi dari status deadlock-nya kesepakatan selama enam bulan terakhir sangat mungkin negosiasi Freeport berakhir di meja arbitrase internasional," kata Bhima.

Halaman:
Baca tentang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com