Saat ini baru sekitar 36 persen dari masyarakat Indonesia yang telah memiliki rekening di bank dan hanya 10 persen yang melakukan adopsi transaksi non-tunai.
Pembayaran tunai masih menjadi pilihan utama, padahal ada beban biaya, tenaga dan waktu saat bertransaksi menggunakan uang tunai.
Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, ada banyak potensi bisnis yang dapat dikembangkan melalui transaksi non-tunai.
Diantaranya, memperluas cakupan serta meningkatkan loyalitas dengan memberikan pengalaman terbaik bagi konsumen.
Transaksi non-tunai juga dapat meningkatkan produktivitas bisnis dengan memungkinkan pelaku usaha untuk melakukan tracking terhadap seluruh transaksi secara lebih cepat.
Dengan jumlah UMKM sebanyak 56,54 juta di Indonesia dan menyumbang PDB sekitar 60 persen , hal ini tentu akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Di sisi lain, bagi pemerintah, transaksi non-tunai akan mendorong efisiensi ekonomi. Akan ada penghematan biaya mulai dari biaya cetak dan distribusi uang, cash handling, hingga administratif manajemen.
Melalui kemudahan transaksi non-tunai, pemerintah bisa mendorong penerimaan negara baik pajak maupun non pajak dan seluruh transaksi bisa tercatat sehingga lebih transparan dan akuntabel.
Untuk konsumen, tentunya transaksi non-tunai akan memberikan kemudahan bertransaksi selama 24 jam dengan kenyamanan dan biaya yang lebih murah.
Cita-cita pemerintah untuk mewujudkan cashless society, perlu didukung oleh pelaku usaha, tidak hanya perbankan, namun juga perusahaan rintisan teknologi finansial (tekfin).
Peran perusahaan tekfin tidak cukup sebagai penyedia solusi layanan keuangan saja, namun harus dibarengi dengan edukasi masyarakat, terutama mereka yang unbanked, untuk beralih ke transaksi non-tunai.
Namun demikian, membangun layanan pembayaran untuk mendukung transaksi non-tunai tidak mudah. Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan sebuah ekosistem baru dalam sistem pembayaran elektronik, termasuk soal keamanan dan infrastruktur.
Lembaga survei JakPat (2016) merilis persentase penggunaan layanan pembayaran elektronik, dimana secara mengejutkan, Go-Pay (27,1 persen) dengan rentang waktu yang pendek berhasil menduduki posisi keempat setelah Mandiri e-Money (43,8 persen), BCA Flazz (39,1 persen), dan Telkomsel T-Cash (29,1 persen).
Adopsi pembayaran elektronik yang cepat harus dibarengi dengan keamanan yang terjamin sehingga pengguna tidak memiliki masalah kepercayaan baik terhadap layanan maupun risiko.
Tidak jarang karena khawatir saldonya hilang, masyarakat melakukan top up saldo yang tidak sesuai kebutuhan transaksi sebenarnya.