Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Sepatu Baru Amir di Pintu "E-Tol"

Kompas.com - 16/10/2017, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Mereka memilih untuk memilih sendiri, bukan dipaksa. Adalagi yang mengatakan sosialisasi kurang. Duh, kemana aja sih? Pembayaran nontunai sudah ada sejak tahun 2009 dan terlalu jelas terpampang di pintu tol.

Amir melanjutkan teorinya. “Pertama, tak ada permulaan yang mudah. Kedua, selalu ada yang mengompor-ngompori agar kita beramai-ramai tak melanjutkan usaha kita. Lihat saja orang-orang yang sok jadi pahlawan di gerakan nontunai.

Mereka mengompori bahwa akan ada banyak orang bakal kena PHK, walaupun operatornya sudah bilang tak ada PHK. Ketiga, efeknya akan berbeda antara dipaksa dengan mau sendiri.

"Idealnya memang kita melakukan sesuatu itu suka rela, tidak perlu dipaksa-paksa. Jadi seperti juragan sapi dalam cerita Amir tadi, “kalau sakit, mau komplain sama siapa? Wong maunya sendiri kok!”

Namun, kadang saya berpikir sebaliknya. Katanya dalam hal tertentu negara memang harus intervensi. Sebab kita ini bukan negara liberal yang semau-maunya. Pembayaran elektronik sudah ada sejak tahun 2009. Tetapi proses perpindahannya sangat lamban.

Sampai awal tahun 2017 diperkirakan kurang dari 20 persen kendaraan yang sudah menggunakannya.

Sebagai pengguna jalan tol dan sudah lama memakai jalur nontunai, saya sih senang-senang saja. Sejak awal menggunakannya, kendaraan yang saya tumpangi selalu bablas, sementara ratusan mobil lainnya memilih antre di jalur pembayaran tunai.

Kata sebagian orang, uang mereka terbatas. Tetapi kalau saya lihat merek mobil dan penumpangnya, saya sungguh tidak percaya. Terlihat mereka mampu. Saya tak tahu persis mengapa mereka tak bisa melihat ada jalur lewat yang tak perlu mengantre.

Nah begitu “dipaksa” harus pindah nontunai (bukan non rupiah lho!) keluarlah letupan-letupan itu.

Ini persis cerita Amir tadi. Dongkol sama ibunya (dalam hal ini kebijakan nontunai ditetapkan oleh Bank Indonesia), orang-orang yang dipaksa itu menyalahkan teman terdekatnya (dalam hal ini operator jalan tol).

Mungkin Amir ada benarnya. Kita berada di depan pintu gerbang perubahan yang amat besar. Makanya disebut disruption. Ini adalah inovasi besar yang menyebabkan segala hal yang kita lakukan di masa lalu menjadi ketinggalan jaman. Ditinggalkan karena tak bisa memenuhi tuntutan baru. Bahkan disertai kekacauan kalau kita melawannya.

Jalan-jalan tol baru, uang elektronik, bandara dan terminal baru, jalur kereta api dan jenis-jenis kereta baru, belanja dan mal online, taxi online, semua diikuti dengan perubahan besar perilaku dan tuntutan baru. Satu pekerjaan hilang, banyak pekerjaan baru yang lebih manusiawi muncul.

Kata Psikolog cyber Mary Aiken, sejak dulu hidup kita diperkaya dan dipoles teknologi. “Namun tak ada yang menimbulkan dampak yang lebih besar dari teknologi digital,” tambahnya.

Segalanya serba baru. Bagi yang voluntarily (karena inisiatifnya sendiri), kesakitan itu bisa dinikmati. Tetapi bagi laggards (yang terlambat beradaptasi) atau bahkan yang menolak peradaban baru dan harus dipaksa, sudah pasti berteriak. Dan jangan lupa, selalu ada “kompor” yang memanas-manasi agar kita tidak berubah.

Mungkin begitulah psikologi permulaan yang barangkali belum ada studinya juga. Entahlah, kita tanya saja pada ahli-ahlinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com