JAKARTA, KOMPAS.com - Penurunan daya beli masyarakat kerap disebut-sebut menjadi kambing hitam sepinya gerai-gerai ritel konvensional, bahkan hingga tutup. Namun 3 "jagoan" ekonomi Indonesia mematahkan persepsi tersebut.
Usai rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) semua sektor ekonomi, termasuk ritel tumbuh tumbuh double digit.
"Ini menggambarkan ada aktivitas ekonomi yang mendasari pembayaran pajak itu," ujarnya di Jakarta, Selasa (31/10/2017).
Berdasarkan data household consumption Bank Dunia tutur Sri Mulyani, dari 10 kelompok pendataan, 30 persen masyarakat berpenghasilan paling rendah, konsumsinya lebih tinggi dari tahun lalu.
(Baca: Ritel Modern Berguguran dan Abnormalitas Daya Beli)
Hal itu tutur dia sejalan dengan banyaknya gelontoran dana dari pemerintah kepada masyarakat tidak mampu melalui program-program bantuan sosial. Akibatnya, daya beli tetap tumbuh.
Selain itu, harga-harga kebutuhan pokok juga tidak melonjak tinggi sehingga terjangkau oleh 30 persen kelompok masyarakat kelas bawah.
Sementara itu pertumbuhan konsumsi kelompok kelas menengah ada dikisaran 5-6 persen, lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 8 persen. Meski begitu, tingkat konsumsi masih positif.
Hingga akhir 2017, pemerintah meyakini konsumsi masyarakat akan tumbuh diangka 5 persen.
Di tempat yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, pihaknya melihat kondisi perbaikan tingkat konsumsi pada kuartal III dan IV 2017. Di ritel misalnya, tumbuh 2,4 persen pada September 2017 secara tahunan. Belum terlalu kuat, namun positif.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.