Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonom Indef: Belum Saatnya Vape Dipajaki

Kompas.com - 22/11/2017, 18:14 WIB
Yoga Hastyadi Widiartanto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bima Yudhistira berpendapat pemerintah terlalu terburu-buru dalam memutuskan pajak cukai sebesar 57 persen pada vape atau rokok elektronik.

Bima mengatakan bahwa saat ini vape merupakan produk yang sedang tumbuh dan belum digunakan oleh banyak orang. Total porsi produk rokok dan HPTL sendiri, bape baru 2 persen dari total rokok yang beredar.

"Saya tidak yakin mesti cukai. Kalau dikenakan pajak, ya biasa saja, keadilan pajak dengan PPn 10 persen. Kalau impor ya berikan bea masuk, lalu perusahaan yang memproduksi alat vape atau e-liquid dikenakan PPh Badan. Jadi business as usual," terang Bima saat bincang dengan Kompas.com, di Shangrila, Jakarta, Rabu (22/11/2017).

Dia menambahkan, vape sendiri sebenarnya memiliki aspek positif. Dari segi bisnis, dalam kurun waktu dua tahun belakangan mulai muncul berbagai bisnis skala kecil baru.

Sedangkan dari sisi kesehatan, pengguna vape rata-rata adalah orang yang ingin meninggalkan rokok. Vape dipakai sebagai alat transisi sebelum orang itu kemudian benar-benar berhenti merokok sama sekali.

Bima khawatir jika pemerintah tanpa kajian yang jelas menerapkan cukai 57 persen pada vape, maka bisnis-bisnis kecil yang tadinya mau tumbuh malah jadi mati.

Sementara itu pengenaan cukai yang begitu besar itu pun tidak akan berdampak signifikan pada pemasukan negara.

Dia menjelaskan saat ini penerimaan cukai dari rokok mencapai nilai Rp 100 triliun lebih. Jika vape, yang kurang 2 persen dari total rokok dan produk turunannya dikenai cukai, pemerintah hanya mendapat pemasukan kecil yang belum tentu efektif.

"Kalau cuma 2 persen dari situ, dapet beberapa miliar, artinya belum tentu efektif. Belum dihitung biaya pemungutannya, petugas, lalu pembentukan sistem dan lain-lain. Kalau ternyata lebih besar, ya jadinya zero sum game. Gak dapet apa-apa," pungkas Bima.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan berencana menerapkan cukai untuk cairan vape atau e-liquid sebesar 57 persen pada Juli 2018. Cairan vape tersebut dianggap sebagai produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).

Besaran cukai tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan PMK 146 tahun 2017, yang menentukan bahwa produk HPTL bisa dikenakan cukai 57 persen.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun pernah mengatakan akan bertindak tegas mengatur peredaran vape di Indonesia. Alasannya, peredaran vape tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia karena tidak memberikan dampak kesejahteraan bagi petani tembakau.

Mendag menjanjikan untuk mencantumkan persyaratan peredaran vape ke dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).

"(Vape) hanya boleh beredar, dan impor kalau ada rekomendasi dari Menkes, BPOM, Menperin, dan dapat SNI. Nah itu panjang, dan kelihatannya 20-30 tahun enggak keluar izinnya," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Whats New
Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Whats New
Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Whats New
BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Whats New
BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com