DI tengah berbagai kontroversi tentang kebijakan Presiden Joko Widodo yang menggenjot penyediaan infrastruktur fisik di seluruh Indonesia, imbas dari langkah tersebut berpotensi untuk menggerakkan roda perekonomian di Indonesia.
Namun demikian dampak positif dari kebijakan tersebut membutuhkan syarat yang harus dipenuhi.
Syarat tersebut adalah tumbuhnya inovasi yang lahir dari inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal yang membuat berkah infrastruktur dapat dinikmati oleh mayoritas kekuatan ekonomi kecil dan menengah dan bukan hanya kekuatan ekonomi besar.
Selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo, komitmen presiden untuk membangun infrastruktur yang menghubungkan wilayah-wilayah terpencil dari Sabang sampai Merauke terlihat secara jelas.
Kebijakan ini di satu sisi memunculkan berbagai kritik mengingat gelontoran dana ribuan triliun untuk proyek infrastruktur. Artinya kebijakan ini berhubungan dengan kebijakan fiskal yang ekspansif.
Pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang masif mengakibatkan defisit anggaran dari pemerintah seperti yang terlihat pada defisit RAPBN 2016 Rp 273,2 triliun atau 2,1 persen dari PDB maupun defisit Anggaran 2017 sebesar 2,41 persen dari PDB kita.
Namun demikian di tengah berbagai kritik terhadap kebijakan infrastruktur yang dianggap menyerap dana yang besar, kebijakan ekspansi infrastruktur juga memiliki beberapa nilai positif yang patut diapresiasi.
Melalui penyediaan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan ekonomi Indonesia, kebijakan ini bermanfaat. Pertama, untuk membangun konektivitas antar wilayah.
Kedua, menyediakan lapangan kerja ditengah krisis ekonomi. Ketiga, mengundang investasi untuk menggerakkan perekonomian daerah.
Belajar dari Roosevelt
Dalam sejarah ekonomi dunia, keberhasilan negara-negara besar untuk menyelesaikan krisis melalui kebijakan penyediaan infrstruktur patut untuk dijadikan pelajaran penting bagi Indonesia.
Professor ekonomi dari Columbia University Jeffry Sachs (2011) dalam karyanya The Price of Civilization: Economics and Ethics After the Fall menjelaskan bahwa pemerintahan Amerika Serikat dibawah Franklin Delano Roosevelt merespons krisis sosial melalui formulasi New Deal.
Formulasi itu diteruskan sampai tahun 1960-an dengan berbagai formulasi termasuk kebijakan pembangunan infrastruktur fisik (jalan, jembatan, listrik dan bendungan), perhatian terhadap usaha kecil dan menengah, peningkatan pelayanan publik (kesehatan dan edukasi), serta pembangunan regional antar wilayah maupun transfer dana ke masyarakat miskin.
Formulasi New Deal inilah yang saat ini mulai kembali disuarakan oleh kalangan progresif Amerika Serikat untuk mengatasi persoalan krisis sosial di era neoliberalisme.
Satu hal yang penting diperhatikan dari penjelasan Jeffry Sachs di atas bahwa kebijakan infrastruktur yang dibangun pada era New Deal tidaklah selesai dengan kebijakan infrastruktur itu sendiri.