Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Jangan Gengsi Akui Indonesia Krisis Energi...

Kompas.com - 06/12/2017, 20:36 WIB
Aprillia Ika

Penulis

MUARA ENIM, KOMPAS.com — Pemerintah diminta untuk tidak gengsi mengakui bahwa Indonesia saat ini mengalami krisis energi. Bagaimana tidak, saat ini Indonesia menjadi net importer untuk minyak. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1990-an.

Hal ini dikatakan Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Syamsu Alam setelah acara peresmian Stasiun Pengumpul Gas Paku Gajah dan Kuang di Muara Enim, Sumatera Selatan, Rabu (6/12/2017).

Menurut dia, saat ini Indonesia sudah defisit minyak, sementara untuk gas masih belum. Indonesia memang kaya potensi energi, misalnya energi surya, angin, air, ataupun panas bumi, tetapi tidak untuk minyak.

Minyak, lanjut dia, di dunia cadangannya mencapai 1.700 miliar barel. Sementara cadangan Indonesia hanya 3,7 juta barel atau hanya 0,2 persen dari cadangan dunia.

Baca juga : Direktur Hulu Pertamina: Untuk Ketahanan Energi, Contohlah Jepang...

Jika pemerintah mengejar pertumbuhan 5 persen per tahun, maka selain minyak, gas akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan.

Sebab, bauran energi dari energi baru dan terbarukan atau EBT juga masih sedikit. Otomatis, minyak dan gas (migas) masih akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2050 mendatang. 

Jika hal ini berlangsung terus, Syamsu Alam memperkirakan pada 2023 Indonesia akan jadi importir gas. Sebab, pada tahun itu jumlah kebutuhan sudah melebihi produksi. 

Baca juga: Jangan Merasa Indonesia Kaya Migas...

"Pemerintah jangan tutupi kelemahan migas di Indonesia," kata dia.

Syamsu melanjutkan, untuk minyak, dari 800.000 barel per hari produksi minyak mentah Indonesia, yang menjadi milik Indonesia hanya 600.000 barel per hari.

Sementara kapasitas kilang Indonesia sebesar 1 juta barel per hari sehingga untuk memenuhi target kapasitas saja Indonesia harus impor 200.000 barel per hari.

Kemudian, konsumsi atau demand minyak olahan (untuk BBM dan sebagainya) di Indonesia mencapai 1,4 juta barel per hari. Gap antara produksi dan kebutuhan juga sudah sangat besar.

"Konsumsi di hilir melebihi produksi di hulu sehingga kalau harga minyak naik pun, keuntungan di hulu tidak akan bisa menutupi hilir," lanjut dia.

Baca juga: Pertamina EP Resmikan Proyek Integrasi Fasilitas Produksi Gas di Sumsel

Untuk bisnis hulu (eksplorasi dan eksploitasi) Pertamina, lanjut dia, saat ini memang masih menguntungkan. Sebab, saat ini harga minyak mentah masih di level 50 dollar AS per barel, sementara proses produksi di Pertamina EP bisa ditekan di level 16 dollar AS per barel. Sehingga masih memiliki margin.

"Namun, jika harga minyak jatuh ke 16 dollar AS per barel, Pertamina EP sama saja kerja rodi," ujarnya.

"Pertanyaannya apakah kita sudah tidak kaya minyak lagi? Ya, buka saja data keberhasilan eksplorasi. Berapa eksplorasi migas yang sudah berhasil?" lanjutnya.

Syamsu bercerita, di indonesia ada banyak cekungan tapi bukan cekungan minyak, melainkan dalam bentuk sedimen. Dan untuk tahu apakah dalam cekungan tersebut ada minyak atau tidak harus dilakukan pengeboran.

Nah, di timur Indonesia ditemukan banyak cekungan tersebut. Banyak perusahaan migas melakukan pengeboran termasuk Pertamina. Nyatanya tidak ada minyaknya dan Pertamina juga habis ratusan juta dollar AS untuk eksplorasi tersebut.

"Apakah kita berani katakan kita kaya (minyak?). Beranikah kita taruh risiko kalau belum terbukti (punya minyak) kita bisa santai-santai?" ujar Syamsu.

Kompas TV Pemerintah waspadai dampak penurunan harga minyak dunia pada keuangan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com