Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Arah Tranformasi dan "Digital Crisis" 2018

Kompas.com - 28/12/2017, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

KOMPAS.com - Mendiang Presiden Kennedy pernah mengatakan, hati-hati menggunakan kata Crisis. Dan kata itu kembali menguat di akhir tahun ini, tatkala lembaga riset Forrester mengeluarkan outlook bisnis tahun 2018. Salah satu poin pentingnya, akan terjadinya digital crisis di tahun 2018.

Ini menjadi penting untuk anda yang tengah merumuskan visi 2018, sebab ekonomi digital benar-benar telah merasuki hampir seluruh kehidupan manusia.

Dan bagi Forrester, digitalisasi bukanlah sebuah elective surgery, melainkan mandatory. Sementara 60 persen CEO merasa mereka sangat tertinggal.

Di tanah air, bahkan lebih dari 80 persen CEO dan pengusaha lama merasa masih menjadi pemula (beginners) yang gaptek. Dan celakanya itu dialami perusahaan-perusahaan yang menjadi bintang bagi generasi X dan di atasnya.

Merek-merek besar yang selalu unggul dan menguasai pasar dengan jaringan distribusi yang selama ini solid, tetapi serba manual dan eye-contact.

Namun kalau kita mau kembali ke peringatan Kennedy, maka kata crises tidak boleh dibaca linear sebagai “keadaan yang berbahaya”, melainkan “ada kesempatan dalam bahaya.”

Kemana hilangnya kapal-kapal layar?

Supaya jelas kemana arah transformasi yang perlu dipersiapkan para pelaku usaha di tahun 2018, saya ajak anda membuka sedikit catatan sejarah ke belakang. Ya, ini soal kapal-kapal layar yang lenyap di era revolusi industri.

Anda mungkin masih ingat gambar di buku-buku sejarah yang mengesankan perdagangan global dengan kemunculan ribuan kapal layar pengangkut segala barang, termasuk rempah-rempah.

Kapal layar pernah berjaya merajut kesatuan nusantara dan penghubung perdagangan dunia. Entah itu kapal Pinisi, atau kapal VOC.

Kapal-kapal layar itu hilang sejalan dengan munculnya mesin uap. Bagi kaum muda saat itu, mesin uap adalah opportunity untuk mengganti pemain-pemain lama yang enggan berubah. Namun bagi pengusaha lama, mesin uap adalah bahaya. Maka yang terjadi, mereka memang mengambil jalan transformasi, tetapi separoh hati.

Ya, alih-alih melakukan transformasi yang penuh, para pemilik kapal hanya tergoda membeli mesin dan memasangnya di lambung kapal. Di atasnya tetap layar yang ditiup angin, namun di bawahnya ada mesin yang bisa memicu kecepatan.

Sementara kapal-kapal baru bermunculan yang didesain tanpa layar sama sekali. Ukuran kapal pun berubah. Jumlah muatan yang diangkat terus diperbesar. Dan dermaga-dermaga baru di manca negara terus dibangun menyesuaikan diri dengan bentuk kapal-kapal baru.

Kedalaman laut di tepian dermaga juga diperdalam karena bobot kapal lebih besar. Sementara di sini, dermaga-dermaga kita hingga tahun 2000 masih sama dengan keadaan 30-40 tahun sebelumnya.

Pemilik kapal-kapal mesin baru itu adalah pengusaha-pengusaha baru. Sementara mesin-mesin kapal dibeli oleh para pemilik kapal layar yang masih menggunakan angin sebagai kekuatan dengan dimensi kapal yang tak berubah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com