Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Arah Tranformasi dan "Digital Crisis" 2018

Kompas.com - 28/12/2017, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Begitu terusan Suez dan terusan Panama dibuka, kapal-kapal layar perlahan-lahan mulai berguguran. Para pemiliknya bergumam, “Kami mati karena daya beli menurun, orang tak lagi melakukan perdagangan karena resesi ekonomi.”

Padahal pemilik barang memilih berdagang dengan kapal-kapal baru yang jauh lebih cepat, dan biayanya jauh lebih murah.

Kapal uap mulai dikenal pada tahun 1813. Menurut catatan Gale & Aarons (2017), kapal-kapal layar itu mulai kehilangan pasar pada tahun 1849 setelah dibangun terusan Panama yang membutuhkan kapal yang dimensinya lebih besar. Kecepatannya lebih tinggi dan daya angkut yang lebih, menyambut dunia yang lebih terbuka.

Transformasi separoh hati

Kisah tentang kapal-kapal layar yang dipasangi mesin-mesin uap itu kini tengah kita hadapi dalam perekonomian Indonesia. Khususnya ketika kita tengah memasuki perdagangan digital yang sangat disruptif.

Perusahaan-perusahaan berlomba membeli teknologi dan menguasainya, tetapi bentuk kapalnya tetap sama. Demikian pula leadership, business capabilities, customer engagement, mindset pegawai dan corporate culture-nya.
Semua masih hidup di atas “kapal layar,” yang kini diberi “mesin uap” (teknologi).

Perusahaan-perusahaan demikian seperti tengah berkelahi melawan fakta-fakta baru bahwa bisnis mereka tengah berada dalam ancaman kematian. Semakin dekat kita memasuki perdagangan digital, maka semakin besar desakan kematian itu.

Tengok saja saat manusia mulai mengeksplorasi dunia digital 50 tahun lalu, rata-rata perusahaan terkemuka di dunia bisa bertahan lebih dari 50 tahun dalam daftar Fortune 500. Tetapi kini, di tahun 2018 diperkirakan mereka hanya bisa ada dalam daftar itu sekitar 15 tahun saja.

Raksasa-raksasa yang branded dan innovative itu begitu cepat digantikan pemain-pemain baru yang rata-rata CEOnya jauh lebih muda dan perusahan-perusahaannya sama sekali tidak dikenal di masa lalu.

Mau berlindung pada pemerintah lewat aturan-aturan lama ternyata juga tak bisa karena netizen berkata lain lewat customer enggagement yang lebih intim.

Mengapa raksasa-raksasa itu berguguran? Jawabannya adalah transformasi yang mereka lakukan benar-benar separuh hati, mereka membeli teknologi sekedar ikut-ikutan. Orang-orang lama tidak dilatih ulang, cara berpikirnya tidak diperbaiki, supply-chain management-nya tetap sama, sehingga cost structure-nya tidak berubah.

Sepenuh hati

Maka di tahun 2018, menurut catatan saya, akan bertambah banyak perusahaan-perusahaan besar lama, lintas kategori, yang akan semakin tegang memandang perubahan ini dan menyalahkan keadaan.

Apakah itu sektor keuangan, industri pengolahan, perdagangan dan retail, media, transportasi, farmasi, hospital, otomotif, dan masih banyak lagi yang akan memasuki masa-masa yang sulit.

Saya tentu tak bermaksud menakut-nakuti, melainkan menuntut perhatian agar eksekutif lebih berani mengambil langkah-langkah yang lebih mendasar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com