Bitcoin hendak dibawa ke mana?
Satoshi pantas bangga dengan pencapaian bitcoin selama 9 tahun ini. Pertanyaannya, hendak Ke mana bitcoin?
Kejayaan Btc yang fantastis itu memang diiringi banyak tanya, baik dari masyarakat awam maupun para investornya. Euforia Btc dibayangi awan gelap yang datang dari sejumlah fakta.
Selain teknologinya yang bersifat open source—yang rentan mengundang praktik hacking—, misalnya, siapa pihak bertanggung jawab terhadap kinerja Btc? Lalu, akankah Btc dan virtual money lainnya bakalan diterima menjadi alat tukar sah? Bagaimana masa depan Btc? Masih ada sederet pertanyaan lain lagi.
Semua kekhawatiran itu wajar adanya.
Pertama, tidak ada satu institusi pun yang memiliki otoritas dan bertanggung jawab atas kelangsungan dan kegagalan bitcoin. Fakta ini menyebabkan banyak bank sentral dan pemerintahan kesulitan mengatur dan meregulasikan kebijakan bitcoin di teritori mereka masing-masing.
Beberapa negara bahkan mengambil langkah ekstrem dalam memproteksi perekonomian mereka, termasuk mencegah larinya dana mereka ke negara lain yang lebih dominan dan memiliki cadangan bitcoin lebih banyak. Misalnya, dengan melarang transaksi deposit mata uang fiat ke Crypto Exchanges, meski tetap membiarkan transaksi trading-nya berlangsung.
(Baca juga: Otoritas Moneter Singapura Beri Peringatan Soal Bitcoin )
Negara yang punya keleluasaan cadangan devisa umumnya mengambil langkah yang lebih berani dengan mengalokasikan sebagian cadangan devisanya ke dalam bentuk bitcoin.
Bahkan, ada juga yang terang-terangan mendukung dan mendanai beragam kegiatan guna mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari bitcoin dan Crypto Currency lainnya. Mereka benar-benar menjadikan ini sebagai peluang investasi, dengan harapan dikemudian hari dapat menambah cadangan devisa negara mereka.
Beberapa negara yang sudah terlanjur masif adopsi bitcoinnya, mulai mengambil langkah lebih maju dalam mengantisipasi dampak negatif. Antara lain dengan mempertimbangkan mengembangkan Crypto Currency mereka sendiri, yang dikelola oleh bank sentral di negara mereka.
Beda lagi dengan negara yang tengah mengalami krisis ekonomi, atau cadangan devisanya terbatas. Di tengah kesibukan mengurusi urusan dalam negerinya, daripada mengalami kebingungan mereka cenderung membiarkan begitu saja, dan seperti tidak berdaya mengelola aktivitas para investor mereka yang gelap mata memburu bitcoin.
Negara-negara yang memiliki cadangan bitcoin terbesar berharap besar pada fenomena transaksi Btc setiap harinya. Sedikitnya akan masuk puluhan milliar dollar AS ke sistem perekonomian negara tersebut.
(Baca juga: Korea Selatan Wajibkan Transaksi Bitcoin Pakai Nama Asli )
Tentu saja, dengan sadar negara-negara ini akan menjaga kondusivitas dari bitcoin, mengampanyekan bitcoin ke seluruh pelosok dunia demi melanggengkan kelangsungan “bisnis” digital berskala global ini.
Dari sini terlihat, tidak ada satu keseragaman pada negara-negara tersebut dalam pengelolaan bitcoin di Negara mereka.
Kedua, teknologi yang digunakan dalam sistem bitcoin, atau yang lazim dikenal sebagai Blockchain pun masih terus mengalami pengembangan meski sudah dikembangkan sejak 2008.
Walaupun bersifat open source, yang artinya dapat di akses oleh publik, teknologi ini tetap saja mash terhitung rumit dan sulit dipahami oleh banyak praktisi teknologi informasi di mana pun.