Sebut saja, misalnya, urusan penetapan kawasan. Dalam UU KEK, kawasan haruslah berupa hamparan dengan luas tertentu. Kondisi ini menyulitkan daerah-daerah yang sejatinya tidak terdiri dari hamparan daratan, tapi potensi pariwisatanya sangat tinggi.
Sebagai contoh, Danau Toba. Yang dinyatakan sebagai bagian dari KEK hanya sekelumit dari daratan di salah satu sisi Danau Toba. Praktis imbasnya, investor hanya mendapatkan segala prestise investasi di kawasan tersebut. Padahal seharusnya, seluruh kawasan Danau Toba adalah Kawasan Ekonomi Khusus.
Daerah yang memiliki keunggulan pariwisata berupa laut dan danau, sebut saja misalnya kawasan Mandeh dan Mentawai di Sumatera Barat, atau gugus pulau-pulau indah di Kepulauan Seribu, tentu akan serta merta terganjal di pusat jika mereka ingin mengajukan kawasan tersebut menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata.
Oleh karena itu, jika tidak dikemas dalam bentuk UU Khusus KEK Pariwisata, minimal ada inisiatif pemerintah untuk merevisi UU KEK agar ramah terhadap pariwisata.
Kalau itu tidak dilakukan, saya yakin, ke depan pemerintah akan kesulitan untuk memajukan daerah-daerah potensial dengan strategi menjadikan salah satu kawasan di daerah sebagai KEK. Sementara, salah satu strategi untuk memajukan wisata dari pinggiran (dari daerah-daerah) adalah dengan meningkatkan arus investasi pariwisata ke kawasan tersebut. Mau tak mau, jalan yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan status kawasan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus yang memiliki aneka rupa kemudahan investasi.
Yang keempat, pemerintah sangat perlu mendidik banyak sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang berkualitas, ramah, kredibel, dan berintegritas, termasuk dengan memberikan beasiswa yang menarik.
Itu dilakukan untuk melahirkan sumber daya manusia yang mengetahui persis bagaimana menjawab kebutuhan para wisatawan yang datang membawa uang untuk bersenang-senang. Dalam hal ini, lembaga-lembaga pendidikan yang terkait secara langsung maupun tak langsung dengan industri pariwisata harus mendapat perhatian yang baik.
Kelima, pariwisata Indonesia tentunya juga harus dikemas secara modern sebagai produk dunia yang berkualitas, dengan menyediakan paket komplit pelayanan mulai dari wisman berangkat dari rumah hingga kembali membawa kenangan tak terlupakan.
Hal itu bisa dilakukan dengan membangun kerja sama dalam jaringan terintegrasi dengan para pelaku industry pariwisata di dalam dan luar negeri, mulai dari agen-agen perjalanan, maskapai penerbangan, hingga jaringan perhotelan.
Yang tak kalah pentingnya, semua itu harus didukung promosi besar-besaran dan branding yang kuat. Dana promosi perlu dinaikkan minimal 10-20 persen dari devisa yang diincar, dengan program yang jelas dan target pencapaian yang tegas.
Jika semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, pariwisata tak hanya bisa menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar ke depan. Sektor ini akan mendorong pembangunan daerah-daerah pinggiran yang tertinggal, mempercepat pembangunan infrastruktur, serta menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan banyak kesempatan kerja serta peluang ekonomi baru bagi masyarakat.
Pariwisata yang bernilai tambah tinggi tersebut juga harus dipastikan saling mendukung dan inline dengan sektor-sektor lainya, seperti manufaktur, jasa, pertanian, hingga pembangunan lingkungan.
Dengan lain perkataan, koordinasi lintas sektoral perlu diintensifkan. Jika perlu, pemerintah dan pihak swasta bisa menginisiasi terbentuknya kaukus pariwisata nasional atau forum-forum sejenis yang melakukan komunikasi dan koordinasi secara berkala.
Political will seperti itu sangat diperlukan jika pemerintah memang serius ingin menjadikan sektor pariwisata sebagai quick win dari berbagai stagnasi sektor-sektor andalan selama ini. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.