Optimisme muncul pada 2018 jika melihat tren peningkatan harga-harga komoditas dan permintaan global, terutama harga minyak yang pada tahun lalu memberikan windfall profit ke kas negara dalam bentuk setoran PPh migas yang melonjak.
Aktivitas ekonomi yang diprediksi akan lebih baik diyakini akan memberikan ruang dan peran fiskal yang lebih besar, baik dari sisi belanja maupun penerimaan negara. Berbekal optimisme tersebut, target penerimaan negara dan alokasi anggaran belanja negara ditetapkan pada level yang cukup ambisius di APBN 2018.
Pajak, terutama, target penerimaannya dipatok Rp 1.424 triliun atau meningkat 11 persen dibandingkan dengan target di APBN-P 2017 yang Rp 1.283,6 triliun. Namun, jika dibandingkan dengan realisasi (sementara) per 31 Desember 2017, target pajak tahun ini melonjak 23,7 persen.
Berdasarkan waktu pencatatan 8 Januari 2018, realisasi penerimaan pajak 2017 sebesar Rp 1.151,1 triliun atau shortfall Rp 132,5 triliun dari target.
Apabila melihat potensi pertumbuhannya—baik yang 11 persen maupun yang 23,7 persen— maka target penerimaan pajak tahun ini di atas pertumbuhan alamiah (pertumbuhan ekonomi + inflasi) 8,9 persen. Jika tercapai, itu yang dikatakan dengan extra effort.
Dalam beberapa kesempatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara terang-terangan meminta aparat pajak untuk menjaga iklim investasi dan dunia usaha tetap kondusif. Untuk itu, upaya mendorong penerimaan pajak diharapkannya tidak menimbulkan kegaduhan.
Pertanyaannya kemudian, apakah target penerimaan pajak 2018 realistis untuk bisa dicapai?
Realistis atau tidak realistis itu tergantung dari upaya dan strategi yang akan dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghimpun sebanyak-banyaknya setoran pajak. Kalau pakai cara-cara klasik atau tanpa terobosan apa pun, target tersebut menjadi mustahil untuk bisa dicapai.
Lihat saja tren pertumbuhan penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir yang kecenderungnya semakin turun—dari 10,2 persen pada 2013 menjadi 3,8 persen pada 2017.
Tren pertumbuhan penerimaan pajak 2013-2017
Karenanya, butuh terobosan kebijakan untuk melengkapi cara-cara mainstream yang selama ini dilakukan otoritas pajak. Misal, dengan mengefektifkan Program Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final (PAS-Final) yang pelaksanaannya tidak terbatas waktu.
Meski tidak sebaik tax amnesty, fasilitas ini setidaknya memberikan tarif pajak yang lebih ringan bagi Wajib Pajak untuk mendeklarasikan harta yang selama ini belum diungkap tanpa khawatir dikenakan sanksi administrasi.
Apabila Wajib Pajak diberikan fasilitas, maka di sisi lain fiskus harus memaksimalkan tugas dan fungsinya dengan mengoptimalkan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017.
Beleid tersebut merupakan tindak lanjut dari program amnesti pajak, yang mengatur pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang dianggap sebagai penghasilan. Artinya, jangan hanya mengandalkan data yang terkumpul tetapi juga harus mampu menggali potensi-potensi pajak baru.