Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Negara Bisa Alami Hiperinflasi?

Kompas.com - 16/02/2018, 13:28 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

NEW YORK, KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu sering diwartakan mengenai kondisi Venezuela yang inflasinya meroket tinggi. Nilai mata uang bolivar Venezuela juga telah hilang 99,9 persen hanya dalam waktu singkat.

Dengan kondisi yang parah tersebut, Venezuela telah masuk dalam pusaran hiperinflasi. Akan tetapi, apa sebenarnya hiperinflasi, apa penyebabnya, dan bagaimana solusinya?

Mengutip The Economist, Jumat (16/2/2018), hal pertama yang harus dipahami adalah definisi hiperinflasi.

Pada tahun 1956, ekonom Phillip Cagan yang bekerja di Biro Nasional Riset Ekonomi AS dalam studinya mendeskripsikan hiperinflasi sebagai periode di mana harga melonjak lebih tinggi dari 50 persen dalam sebulan.

Penyebab hiperinflasi beragam, namun biasanya adalah revolusi, perang, maupun transisi politik. Kondisi hiperinflasi pertama yang tercatat adalah antara tahun 1795-1796 di Perancis pada periode revolusi.

Setelah Perang Dunia I pun terjadi hiperinflasi di Eropa, khususnya di Jerman. Kemudian, hiperinflasi juga terjadi pada awal 1990-an pada negara-negara yang terdampak pecahnya Uni Soviet.

Namun demikian, perang dan revolusi tidak selalu menjadi penyebab inflasi. Ini yang terjadi di Zimbabwe dan terakhir di Venezuela.

Meski setiap kasus hiperinflasi memiliki kondisinya yang berbeda satu sama lain, namun ada pola umum hiperinflasi. Biasanya, hiperinflasi berkaitan erat dengan permasalahan fiskal.

Kemungkinan besar ada tekanan pada anggaran negara karena beberapa kondisi, misalkan perang, belanja kesejahteraan, hingga ada intervensi pejabat. Selain itu, hiperinflasi bisa terjadi setelah ada guncangan dan kejutan pada ekonomi.

Kondisi itu terjadi di Venezuela, yang terdampak anjloknya harga minyak. Di Zimbabwe, hiperinflasi terjadi pasca merosotnya produksi pertanian.

Guncangan pada ekonomi tersebut memberi dampak rentetan, seperti merosotnya penerimaan pajak yang menyebabkan ada "lubang" pada pembiayaan publik. Pemerintah mengatasinya dengan mencetak uang, namun ini membuat inflasi terdorong naik.

Meskipun demikian, hiperinflasi biasanya tidak berlangsung lama. Ada dua hal yang bisa meredakan hiperinflasi.

Pertama, dengan kebijakan moneter terkait mata uang. Ini yang terjadi dengan Zimbabwe pada akhir 2008 dengan masuknya mata uang dollar AS, yang menstabilkan harga.

Namun, ada harga yang harus dibayar mahal oleh Zimbabwe. Negara tersebut kehilangan kendali atas sistem perbankannya dan industri tak lagi berdaya saing.

Kedua, hiperinflasi bisa berakhir dengan adanya program reformasi pemerintah. Ini biasanya berkait erat dengan komitmen untuk mengendalikan APBN, penerbitan uang baru, dan stabilisasi nilai tukar. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com