JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) melaporkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada kuartal IV 2017 mencapai 352,2 miliar dollar AS atau Rp 4.773 triliun. Angka tersebut tumbuh sebesar 10,1 persen secara tahunan (yoy).
Masih wajarkah jumlah utang luar negeri Indonesia tersebut?
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun memberikan pandangannya. Dia mengatakan, kenaikan ULN sebesar 10,1 masih dalam batas kewajaran, terlebih karena ULN tersebut digunakan pada sektor produktif.
"Itu sah kita melakukan utang itu," ujar Misbakhun saat ditemui di Kantor Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta, Selasa (20/2/2018).
"Untuk bangun infrastruktur, begitu bangun infrastuktur diharapkan nanti akan ada manfaat bagi masyarakat, pergi ke pelabuhan lebih mudah, sektor ekspor akan mencapai target, ruang tunggu mereka untuk mencapai kapal menjadi lebih cepat," lanjut dia.
Baca juga : Bangun Infrastruktur, Utang Luar Negeri Indonesia Naik 10,1 Persen di Akhir 2017
Menurutnya, penggunaan utang untuk sektor produktif akan menopang laju pertumbuhan perekonomian nasional, dan juga dibuktikan dengan upaya pemerintah dalam membayar utang tersebut tepat waktu.
"Pemerintah tidak sekalipun menunda bayar utang, baik itu utang swasta dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) atau bentuk bantuan bilateral, pemerintah sebesar apapun utangnya, pemerintah bisa membayarkan kewajibannya, pemerintah tetap akan menjaga kepercayaan," tambah Misbakhun.
Dia menilai, saat ini ULN bukan lagi diukur dari sisi jumlah utangnya tetapi untuk apa dan mampu tidak pemerintah membayar utangnya.
Beban Bagi Generasi Mendatang
Ekonom Senior INDEF Drajad H Wibowo memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, kenaikan ULN saat ini akan memberikan beban pada generasi mendatang.
Baca juga : Fitch Ratings Naikkan Rating Utang, IHSG Kembali Ukir Rekor Baru
Selain itu, lanjut Drajad, jika alasan pemerintah penggunaan ULN untuk membiayai proyek infrastruktur perlu di evaluasi kembali, sebab, saat ini berbagai proyek infrastruktur tidak memberikan kontribusi besar pada penyerapan tenaga kerja.
"Tambahan utang banyak untuk infrastuktur dan infrastruktur kita liat rasionya untuk penciptaan kerja kecil sekali, artinya tambahan utang yang bebannya ditanggung anak cucu kita itu sekarang belum produktif dari sisi penciptaan kerja," tegasnya.
Drajad mengungkapkan, sektor konstruksi tercatat hanya mampu memberikan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sebesar 134.592 penduduk per tahun atau lebih rendah dibandingkan sektor perdagangan, pergudangan dan jasa akomodasi yang mencapai 1,1 juta per tahun.