Tak ketinggalan, beberapa BUMDes mencobanya dan membuat aneka spot wisata lokal menjadi lebih instagramable. Alhasil, ramai.
The abundance era
Indonesia tengah berubah, kalimat itu muncul di banyak seminar. Orang bilang kita memasuki zaman disrupsi.
Pelaku-pelaku bisnis mapan terdisrupsi oleh para pelaku baru. Mulai dari layanan transportasi, agen travel, mall sampai hotel. Disrupsi memang erat kaitannya dengan teknologi, salah satunya. Namun itu hanya gejala. Justru sebabnya karena kita tengah memasuki the era of abundance, sebuah era keberlimpahan.
Bentuk-bentuk ekonomi baru seperti ekonomi digital, ekonomi kreatif, esteem economy, sharing economy, collaborative economy menemukan momen lahirnya.
Apa yang harusnya berbayar, dapat kita nikmati secara freemium, sebutlah e-mail yang menyediakan 30 Gigabyte per akunnya.
Semua media sosial juga cuma-cuma. Banyak tutorial berbagai bidang dapat kita akses gratis di Youtube. Berbagai informasi juga viral di grup-grup Whatsapp. Masyarakat sedang berlimpah ruah.
Bagi yang kreatif dan memiliki talen bisnis, kelimpahruahan itu menjadi ladang bisnis. Sebutlah bisnis online yang membuat penjual dan pembeli sama-sama termanjakan.
Belum lagi peluang menjadi dropship dengan hanya bermodalkan akun media sosial. Nyaris gratis.
Tak hanya nongkrong dan ngopi, sebagian berkreasi lewat working space. Di ruang itu kolaborasi antar pihak dibangun. Tak sedikit start up lahir dari sana.
Ide dibagi dan diinkubasi, mereka saling coaching dan menyemangati satu sama lain. Modal tak lagi jadi kendala.
Venture Capital bejibun menawarkan investasi. Atau mereka pasang gagasannya di peer to peer platform, sebutlah KitaBisa.com.
Ide sosial, ide bisnis atau proyek sebesar membuat pesawat R80 pun ditempel di sana. Platform itu membuat masyarakat bisa berpartisipasi memodali suatu ide. Mantranya, kolaborasi!
Koperasi (kredit) kini
Sayangnya, di tengah hirup-pikuk keberlimpahan itu, nyaris koperasi tak terdengar suaranya. Saat beberapa start up secara kreatif beri solusi di sektor pertanian dengan iGrow, iPangan dan aneka platform lainnya, Koperasi Unit Desa (KUD) atau Koperasi Petani (Koptan) masih gunakan cara yang sama. Ya, cara era 80-an.
Orang-orang tua mungkin akan beri khotbah pentingnya belanja di pasar. Namun, anak-anak muda kreatif itu membuat platform belanja pasar lewat ponselnya.
Banyak platform start up lokal di bidang itu yang secara efektif membuat pasar tetap terdengar kumandange, gemuruhnya. Boleh jadi ramalan Ronggowarsito soal itu perlu dikoreksi.
Di luar sana anak muda gemrudug (ramai) mencoba ini-itu. Lagi-lagi, koperasi absen. Seolah-olah hiruk-pikuk itu berada "di luar sana" dan bukannya "di dalam sini".