KOMPAS.com — Memiliki gaji sebesar 10 kali lipat dibandingkan uang jajan semasa kuliah dulu rupanya tak membuat Radit (23 tahun) merasa tenang secara finansial.
Pria yang bekerja di sebuah bank ini bisa mendadak "kere" dengan saldo nol rupiah di rekeningnya tiap akhir bulan.
Radit mengakui pengeluarannya justru berlipat-lipat saat ia mulai bekerja. Misalnya saja untuk urusan tempat tinggal, Radit kini menyewa sebuah kamar indekos dengan harga lima kali lipat dibanding indekosnya saat ia kuliah dulu.
Soal makan, kebiasaan Radit turut berubah. Alih-alih makan di warung makan sederhana seperti ketika jadi mahasiswa, ia kini mampu memesan makanan dari restoran dengan metode delivery.
Dengan gaji yang besar itu pula Radit merasa semakin bebas mengeksplorasi hobi fotografinya. Ia mulai membeli peralatan fotografi dengan harga puluhan juta rupiah.
Radit mungkin bukan satu-satunya generasi milenial yang punya penghasilan besar di awal, tapi selalu kelimpungan belakangan. Mengapa bisa demikian?
Pola hidup konsumerisme berlebihan merupakan masalah utama para milenial yang juga first jobber, seperti Radit.
Tak dapat dimungkiri, perubahan kebiasaan konsumsi ketika pemasukan bertambah memang sulit sekali dihindari.
Secara umum, mengutip buku Kece Tanpa Kere terbitan Gramedia Pustaka Utama (2018), perilaku konsumtif, terutama pada generasi milenial, terjadi karena tiga hal berikut.
1. Tekanan sosial
Banyak remaja yang terlibat tawuran dengan alasan rasa solidaritas dan tekanan dari teman sekelompoknya. Nah, hal semacam ini juga terjadi pada perilaku lain, seperti konsumerisme, dan terjadi dalam berbagai kelompok umur.
Lingkungan atau pergaulan kelompok yang cenderung konsumtif akan memengaruhi anggota kelompok lainnya untuk turut berperilaku konsumtif.
Terlebih di era media sosial saat ini. Generasi milenial seakan tidak lepas dari unggahan di media sosial, mulai unggahan outfit of the day (OOTD) hingga laporan kegiatan di snapchat yang bisa sampai belasan jumlahnya setiap hari.
Adanya tuntutan untuk eksis ini secara tidak langsung akan mendorong pengguna media sosial untuk memamerkan sesuatu yang baru, entah pakaian, gadget, tempat makan, hingga wisata kekinian. Semua hal tersebut akhirnya berujung pada perilaku konsumtif.
2. Kurang percaya diri
Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Psychology and Marketing Volume 19 Nomor 5 tahun 2002, orang yang meragukan diri dan harga dirinya cenderung menjadi pribadi yang materialistis.
Ketika seseorang merasa ada yang kurang dari dirinya, ia akan mencoba mencari kompensasi dari bidang lain.
Sebagai contoh, ketika seseorang merasa kurang menarik, ia akan berusaha membeli barang-barang mahal dengan harapan orang lain akan memberi nilai lebih pada penampilannya.
3. Jebakan industri
Marcuse Herbert dalam tulisannya yang berjudul "Some Social Implications of Modern Technology" berpendapat bahwa industri masa kini atau yang juga dikenal dengan sebutan popular culture memang didesain sebagai lingkar perangkap yang menimbulkan perilaku konsumtif.
Orang-orang dibuat tertarik dengan barang inovatif yang akhirnya menimbulkan keinginan untuk sesuatu yang baru secara terus-menerus.
Nah, inilah alasannya mengapa konsumen, terutama generasi milenial, seakan tidak pernah puas dengan smartphone terbaru, misalnya.
Ketiga hal tersebut sesungguhnya bisa dihindari. Pandangan hidup you only live once (YOLO) khas milenial ini harus mulai digeser.
YOLO bukan lagi berarti membenarkan diri untuk menikmati hidup dan berbuat apa saja sebab hidup cuma sekali.
Milenial akan menjadi pribadi yang berhasil, yang tetap "kece" tanpa "kere", jika berpandangan bahwa YOLO berarti menjalani dan memanfaatkan hidup yang cuma sekali ini dengan sebaik-baiknya.
Dalam hal keuangan, misalnya. Karena hidup cuma sekali, milenial harus mampu mengatur keuangan sebaik dan sebermanfaat mungkin.
Tak ada lagi pengeluaran berlebihan yang dilakukan hanya karena tekanan sosial, rasa percaya diri yang kurang, atau terpengaruh oleh jebakan pasar. Dengan begitu, tak ada lagi saldo Rp 0 di akhir bulan.