JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis dua temuan pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI).
Dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung dan perubahan ekosistem akibat limbah hasil operasional tambang.
"Berdasarkan hasil penghitungan dengan tenaga ahli dari IPB (Institut Pertanian Bogor), nilai ekosistem yang dikorbankan dari pembuangan limbah operasional penambangan Rp 185.018.377.987.478," kata anggota BPK Rizal Djalil melalui konferensi pers di kantor pusat BPK, Jakarta Pusat, Senin (19/3/2018).
Rizal menjelaskan, pembuangan limbah operasional penambangan berdampak pada kawasan hutan, sungai, muara hingga ke daerah laut.
BPK turut menerima data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang memperlihatkan luasan wilayah terdampak limbah semakin besar.
Baca juga : Produksi Produk Perikanan Rendah, Anggota BPK Ini Soroti Kinerja KKP
Kemudian mengenai pelanggaran berikutnya, BPK mendapati PTFI menggunakan kawasan hutan lindung untuk operasional penambangannya dengan luasan minimal 4.535,93 hektar.
Disebut melanggar karena PTFI belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
"Sampai sekarang, terhitung sudah 333 hari dari Laporan Hasil Pemeriksaan itu tapi belum ada tindak lanjut sama sekali. Freeport diam-diam saja," tutur Rizal.
Dari hasil laporan tersebut, BPK merekomendasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memberi sanksi kepada PTFI.
Selain itu, BPK juga mendorong agar PTFI mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan serta mendorong langkah perbaikan ekosistem yang rusak di Papua.
Baca juga : Faisal Basri: Apa Untungnya Punya Freeport?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.