Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan Sri Mulyani soal Utang Pemerintah

Kompas.com - 23/03/2018, 20:49 WIB
Kontributor Amerika Serikat, Andri Donnal Putera,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ramainya perbincangan mengenai utang pemerintah mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara. Dia pertama-tama mengajak masyarakat memahami terlebih dahulu utang sebagai satu dari sekian instrumen pengelolaan keuangan dan perekonomian negara.

"Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus ikut diperhatikan," kata Sri Mulyani melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Jumat (23/3/2018).

Sri Mulyani menuturkan, ada yang namanya aset sebagai akumulasi dari hasil belanja pemerintah di masa-masa sebelumnya. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2016, nilai aset pemerintah sebesar Rp 5.456,88 triliun.

Nilai itu belum ditambah dengan hasil revaluasi yang menampilkan nilai aktual dari berbagai aset negara, seperti tanah, gedung, jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, dan lainnya. Proses menghitung hasil revaluasi tersebut masih berjalan hingga saat ini.

Baca juga: Cerita Zimbabwe Gagal Bayar Utang ke China, hingga Izinkan Mata Uang jadi Yuan

"Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan peningkatan 239 persen dari Rp 781 triliun jadi Rp 2.648 triliun atau kenaikan sebesar Rp 1.867 triliun," tutur Sri Mulyani.

Kenaikan nilai aset atau kekayaan negara disebut Sri Mulyani harus diperhatikan dalam melengkapi penjelasan tentang utang. Hal itu dikarenakan kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun, di mana ada juga yang berasal dari utang.

Dia turut menyinggung pihak yang membandingkan utang dengan belanja modal atau belanja infrastruktur pemerintah. Menurut Sri Mulyani, tidak semua belanja modal dilakukan oleh kementerian/lembaga di pusat, melainkan juga di pemerintah daerah.

Dalam hal dana transfer ke daerah, terjadi peningkatan dari Rp 573,7 triliun pada 2015 jadi Rp 766,2 triliun pada 2018, dengan porsi 25 persen diwajibkan untuk belanja modal. Namun, pada pelaksanaannya belum semua pemerintah daerah mematuhi hal tersebut.

Baca juga: Indef: Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 7.000 Triliun

"Dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya belanja modal karena untuk membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja masuk dalam belanja barang," ujar Sri Mulyani.

Hal ini sekaligus membantah pernyataan pihak lain yang menyebut tambahan utang tidak produktif karena belanja modal juga tidak besar. Adapun secara keseluruhan APBN, dengan ukuran jumlah nominal serta rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), defisit anggaran dan posisi utang pemerintah tetap terkendali.

Defisit dan posisi utang yang dialami sampai saat ini dikatakan Sri Mulyani masih jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Bahkan, defisit APBN 2017 yang diperkirakan mencapai 2,92 persen PDB dapat diturunkan ke 2,5 persen PDB.

"Pada 2005 sampai 2010, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen. Suatu pencapaian yang baik dan APBN Indonesia semakin sehat, meski jumlah nominal tetap mengalami kenaikan," ucap Sri Mulyani.

Baca juga: Ini Cara Pemerintah Melunasi Utang Luar Negeri yang Tembus Rp 4.000 Triliun

Sri Mulyani berterima kasih atas analisis dan berbagai masukan untuk pemerintah. Dia turut mengajak pihak lain sama-sama mendukung program pemerintah serta ikut menjaga keuangan negara agar tetap konstruktif dan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Pada akun resmi Facebooknya,  Sri Mulyani juga menggunggah status mengenai utang ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com