PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Pasangan kakek-nenek Arsyadi dan Sumayati masih mengandalkan minyak kelapa untuk dikonsumsi, sekaligus sebagai sumber pendapatan keluarga.
Mereka terus memproduksi minyak kelapa, walaupun di daerah sekitar mereka, kelapa sawit semakin berjaya sebagai bahan baku minyak goreng.
Sore itu, di halaman belakang rumah mereka, dua perempuan masih sibuk bekerja. Ada yang sedang memarut kelapa dengan menggunakan mesin, ada yang harus memeras kelapa untuk menjadikannya santan dengan tangannya. Di sisi mereka, Sumayati, aktif membantu keduanya bekerja.
Satu drum ukuran 200 liter telah penuh dengan santan. Di sisinya, terdapat dua panci berukuran besar, berisi minyak goreng yang baru jadi, setelah turun dari tungku perapian beberapa jam sebelumnya.
Ratusan pokok kelapa di sekitar rumah mereka, di pesisir Desa Sabuai, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, memang tengah banjir buah. Saat-saat seperti ini mereka menggenjot produksi minyak kelapa.
Sebagai bahan baku minyak goreng, kelapa memang kalah ekonomis dibanding kelapa sawit. Bahkan, harga jual kelapa mentah, bisa lebih menguntungkan dibandingkan dengan olahan minyaknya.
Untuk mendapatkan satu liter minyak kelapa, diperlukan rata-rata 6 buah kelapa. Sedangkan Sumayati biasa menjual minyak kelapa per botol air meneral seukuran 600 mililiter, seharga Rp10.000 sampai Rp12.000. Itu juga tergantung siapa pembelinya.
Baca juga : 5 Manfaat Hebat Minyak Kelapa
Taruhlah ia menjual Rp10.000 per botol kemasan. Bila dirata-rata, per liter harga minyak kelapa yang dijual Sumayati dan suaminya Rp16.600.
Harga itu masih lebih tinggi dibanding minyak goreng kemasan dari bahan baku kelapa sawit. Harga minyak goreng sawit rata-rata Rp15.000. Ini belum paket diskon hingga Rp12.500 yang kerap ditawarkan pusat perbelanjaan.
Meski begitu, Sumayati merasa tidak rugi. Ini karena mereka memperoleh bahan baku dari kebun sendiri. Selain itu, ia merasa minyak kelapa lebih sehat, dan mengolah kelapa sudah menjadi bagian dari tradisi keluarganya. "Asal makan minyak dagang (bahan baku sawit), aku rajin batuk," aku dia.
Sumayati mengatakan, usaha minyak kelapa ini sudah dijalankan sejak anak pertamanya belum genap satu tahun. Itu terjadi sekitar hampir 30 tahun lalu. Kini nenek 50 tahun ini sudah punya empat orang cucu.
Mendukung konservasi
Kesetiaan Sumayati dan Arsyadi dan beberapa masyarakat lokal pada minyak kelapa, kini mendapat perhatian dari beberapa aktivis dan pendukung konservasi lingkungan. Aidi Syarifuddin, pekerja di tour operator yang menjual paket wisata konservasi, misalnya, kini turut memasarkan produk minyak kelapa itu ke kota.