Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

20 ABK yang Ditemukan di Kapal Buronan Interpol Tak Dapat Gaji Layak

Kompas.com - 19/04/2018, 07:00 WIB
Ridwan Aji Pitoko,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 20 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia ditemukan berada di kapal STS-50 yang merupakan incaran Interpol. Kendati dalam kondisi baik-baik saja, para ABK tersebut mendapat perlakuan tak adil dari penyalurnya, PT GSJ.

Para ABK yang ditemukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, dan penyidik Polri itu mengaku tidak diberikan gaji sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh PT GSJ.

"Ketidakadilan yang dialami oleh ABK dirasakan pada penerimaan gaji. Nominal gaji ditentukan berdasarkan pengalaman atau lama kontrak kerja senilai USD 350 atau USD 380. Meskipun demikian, gaji para ABK selama dua bulan pertama ditahan sebagai jaminan penyelesaian kontrak," jelas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam jumpa pers di Gedung Mina Bahari IV Jakarta, Rabu (18/4/2018).

Selain itu, lanjut Susi, jumlah rupiah yang diterima oleh keluarga ABK per bulan beragam mulai dari Rp 4,1 juta hingga Rp 4,5 juta. Ketika ada tangkapan, ABK dapat bekerja 20-22 jam per hari yang terbagi dalam 2 shift.

Baca juga : 20 ABK Asal Indonesia Tak Tahu Mereka Kerja di Kapal Buronan Interpol

Kemudian, jika tidak bekerja di atas kapal, ABK diancam potong gaji hingga 20-30 dollar AS. Adapun selain penahanan gaji selama dua bulan pertama, para ABK juga dikenakan biaya administrasi sebesar Rp2,5 juta yang dibayar melalui cicilan sebesar Rp 500.000 dari potongan gaji mereka selama lima bulan.

Mendapat perlakuan tersebut, para ABK sejatinya sudah meminta agar dipulangkan oleh pihak PT GSJ, terlebih setelah paspor dan buku pelaut ABK disita dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Mozambik pada Februari kemarin di Maputo Port.

"Para ABK juga sempat menghubungi PT GSJ selaku agen penyalur untuk dipulangkan, tetapi ditolak dan diancam pembayaran denda pembatalan kontrak sebesar Rp 6 juta untuk tiap ABK. Kapten kapal juga mengatakan bahwa apabila para ABK menolak bekerja, maka status mereka berubah menjadi penumpang dan harus membayar 25 dollar AS per hari selama tinggal dan berada di atas kapal," ungkap Susi.

Sebagai informasi, kapal STS-50 merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan atau stateless vessel. STS-50 diketahui menggunakan delapan bendera, yaitu Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina, dan Namibia.

Selain melakukan illegal fishing, kapal STS-50 diduga melakukan pemalsuan dokumen kebangsaan kapal untuk menghindari pengawasan dan penegakan hukum.

“IUU Fishing tidak lagi sekadar penangkapan ikan, tetapi juga soal kasus perbudakan yang marak terjadi. Mirisnya, banyak warga negara Indonesia yang menjadi korban,” sambung Susi.

STS-50 diduga telah melakukan kejahatan lintas negara terorganisir dalam waktu yang cukup lama. Untuk itu, Susi bertekad akan terus memproses temuan 20 ABK di kapal STS-50 tersebut.

“Kami akan terus menginvestigasi bekerja sama dengan IOM untuk menelusuri dugaan praktik perdagangan manusia dan perbudakan terhadap 20 orang ABK indonesia yang bekerja di Kapal STS-50. Apabila ditemukan indikasi praktik perdagangan manusia, kami akan memproses secara hukum agen penyalur PT GSJ berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkas Susi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Whats New
Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Whats New
Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Whats New
Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Whats New
Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Whats New
Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Whats New
BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com