Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beli Rokok Rp 350.000 per Bulan Bisa, Bayar BPJS Rp 25.000 per Bulan kok Mengaku Miskin...

Kompas.com - 20/04/2018, 05:00 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MAGELANG, KOMPAS.com - Belanja rokok masyarakat Indonesia termasuk besar dibanding negara lain. Bahkan, menduduki peringkat kedua setelah belanja padi-padian (beras). Mirisnya sebagian besar masyarakat dengan belanja rokok tinggi adalah masyarakat miskin.

Hal itu diungkapkan Ketua Aliansi Bupati/Walikota Peduli Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Hasto Wardoyo, sebelum menutup pelatihan Regulasi Kawasan Tanpa rokok yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Magelang, Jawa Tengah, Kamis (19/4/2018).

"Ini kan tidak masuk akal. Bayangkan saja, mereka bayar BPJS Rp 25.000 per bulan saja tidak mampu, harus negara yang bayar, tapi bisa beli rokok sendiri Rp 350 ribu per bulan. Ini yang bikin gemas," katanya.

Hasto yang juga Bupati Kulonprogo itu mencontohkan, di wilayah yang dipimpin, Pendapat Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 260 miliar, namun rakyat membeli rokok mencapai Rp 96 miliar. Tidak hanya untuk beli rokok saja, namun masyarakat juga masih suka foya-foya.

Baca juga : Sandiaga: Masak Orang Rela Bayar Rp 148 Triliun untuk Rokok, Zakat Hanya Rp 8 Triliun?

"Baru mendapat rejeki sedikit saja, sudah langsung ke dealer beli mobil atau motor, uangnya malah dikasih ke Jepang," cetusnya.

Pihaknya terus gencar melakukan sosialisasi di banyak daerah agar membuat peraturan daerah tentang KTR. Sosialisi itu di dasarkan pada dua hal, yakni ekonomi dan kesehatan. Upaya ini tidak lain agar jangan sampai masyarakat lebih besar membelanjakan rokok dibanding kebutuhan lainnya.

Hasto menyebutkan, jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki peraturan tentang KTR masih sedikit. Dari 518 daerah, baru ada 111 yang memiliki regulasi KTR. Dari jumlah itu, sebagian besar di pulau Jawa dan di Jawa Tengah sendiri baru ada 9 dari 35 kota/kabupaten.

Bahkan, katanya, ada daerah yang menolak regulasi KTR dengan berbagai alasan.

"Alasan setiap daerah (menolak KTR) macam-macam, ada karena politis, mereka masih takut-takut karena baru menjabat. Ada juga yang terang-terangan pikirannya tentang iklan, takut kehilangan pendapat pajak iklan, ada yang takut sama petani tembakau, dan sebagainya," ungkapnya.

Menurutnya, sebenarnya kendala-kendala itu tidak perlu dikhawatirkan, karena pajak rokok tidak sebanding dengan dampak jangka panjang yang dihadapi.

"Di Kulonprogo, saya sudah menerapkan KTR sejak 2014 dan tidak boleh ada iklan rokok. Toh, pemasukan dari sumber lain masih banyak bahkan berlipat-lipat. Jadi jangan takut kehilangan pajak rokok," tegasnya.

Kemudian, terkait dengan petani tembakau, Hasto meminta kepala daerah untuk tidak memusuhi mereka. Sebab, Indonesia masih membutuhkan tembakau lokal

"Saya selalu sampaikan jangan musuhi petani tembakau, karena mereka masih dibutuhkan. Indonesia membutuhkan 330 ribu ton tembakau per tahun. Sekarang yang ditanam oleh mereka baru 180 ribu ton, sisanya impor," bebernya.

"Biarlah mereka tumbuh sampai angka ekspor dan impor itu seimbang," sambungnya.

Pada kesempatan itu, Hasto juga mempersilakan daerah untuk bisa menerapkan regulasi KTR mulai dari Perwal atau Perbup hingga Perda. Pihaknya mengapresiasi langkah yang diambil Universitas Muhammadiyah Magelang, yang telah berani mengambil langkah dengan membentuk KTR di lingkungan kampus.

"Saya harap, langkah ini bisa diikuti lembaga-lembaga lain di seluruh Indonesia," tuturnya.

Kompas TV Modal tambahan ini ditujukan mengurangi masalah keuangan yang membelit BPJS Kesehatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ormas Bakal Bisa Kelola Izin Tambang, Ini Alasan Bahlil

Ormas Bakal Bisa Kelola Izin Tambang, Ini Alasan Bahlil

Whats New
TRIS Bakal Bagikan Dividen Final, Simak Besarannya

TRIS Bakal Bagikan Dividen Final, Simak Besarannya

Whats New
Kenaikan BI Rate Tak Beri Dampak Langsung ke Industri Fintech Lending

Kenaikan BI Rate Tak Beri Dampak Langsung ke Industri Fintech Lending

Whats New
Menteri Trenggono Ungkap Ada 5 Perusaahan Vietnam yang Tertarik Investasi Benur

Menteri Trenggono Ungkap Ada 5 Perusaahan Vietnam yang Tertarik Investasi Benur

Whats New
Stagwell Tambahkan Leverate Group ke Program Global Affiliate

Stagwell Tambahkan Leverate Group ke Program Global Affiliate

Whats New
Tertahan Sejak 2022, Bea Cukai Akhirnya Serahkan Alat Belajar SLB ke Pihak Sekolah

Tertahan Sejak 2022, Bea Cukai Akhirnya Serahkan Alat Belajar SLB ke Pihak Sekolah

Whats New
BI Beberkan Perbedaan Kondisi Ekonomi Saat Ini dengan Krisis 1998

BI Beberkan Perbedaan Kondisi Ekonomi Saat Ini dengan Krisis 1998

Whats New
Kemenperin: Indeks Kepercayaan Industri April Melambat Jadi 52,30

Kemenperin: Indeks Kepercayaan Industri April Melambat Jadi 52,30

Whats New
Intip 'Modern'-nya Pasar Tradisional Lebak Budi di Lampung, Usai Tawar Menawar Bayarnya Pakai QRIS

Intip "Modern"-nya Pasar Tradisional Lebak Budi di Lampung, Usai Tawar Menawar Bayarnya Pakai QRIS

Whats New
IHSG Ditutup Menguat 119 Poin, Rupiah Masih Lesu

IHSG Ditutup Menguat 119 Poin, Rupiah Masih Lesu

Whats New
Logam Mulia Bisa Jadi Pelindung Aset, Bagaimana Penjelasannya?

Logam Mulia Bisa Jadi Pelindung Aset, Bagaimana Penjelasannya?

BrandzView
KKP Mulai Uji Coba Penangkapan Ikan Terukur, Ini Lokasinya

KKP Mulai Uji Coba Penangkapan Ikan Terukur, Ini Lokasinya

Whats New
Namanya 'Diposting' Jadi Menteri BUMN di Medsos, Menteri KKP: Kita Urus Lobster Dulu...

Namanya "Diposting" Jadi Menteri BUMN di Medsos, Menteri KKP: Kita Urus Lobster Dulu...

Whats New
Genjot Dana Murah, Bank Mega Syariah Gelar Program Tabungan Berhadiah

Genjot Dana Murah, Bank Mega Syariah Gelar Program Tabungan Berhadiah

Whats New
Foxconn Tak Kunjung Bangun Pabrik di RI, Bahlil: Masih Nego Terus...

Foxconn Tak Kunjung Bangun Pabrik di RI, Bahlil: Masih Nego Terus...

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com